Heaven Dragon / Demi Gods Semi Devils
Cerita Silat karya Jin Yong, dengan judul asli Tian Long Ba Bu
(Demi Gods Semi Devils). Disadur ke dalam Bahasa Indonesia oleh Gan KL.
Menurut Chin Yung, “ilham” cerita “Thian Liong Pat Poh” ini berpangkal pada kitab ajaran
Budha “Fa-hoa-ching”, dalam mana terbagi 8 bab jang disebut “Thian-liong-pat-poh”
(delapan bab langit dan naga). Thian atau langit dalam agama Budha dimaksudkan malaikat
dewata, dan Liong atau naga adalah malaikat naga yang sangat dihormati dalam agama
Budha. Langit dan naga adalah bab2 permulaan daripada delapan bab yang terdiri dari
macam2 malaikat siluman yang aneh2 bentuknya. Tempat cerita ini ialah negeri Tayli, yaitu
suatu kerajaan kecil didaerah Hunlam (Yunan) di jaman dinasti Song yang beragama Budha.
Toan Hong-ya, itu tokoh terkenal dalam cerita Sia-tiau-eng-hiong dan Sin-tiau-hiap-lu (Sintiau-
tay-hiap) adalah bekas raja negeri tersebut
BAB 1 .....
Sinar hijau berkelebat, sebatang pedang Jing-kong-kiam menusuk cepat ke pundak kiri
seorang laki-laki setengah umur.
Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, penyerang itu sudah menggeser ke samping dan
menyerang pula ke leher kanan laki-laki itu.
Waktu laki-laki setengah umur itu menegakkan pedangnya, "trang", terbenturlah kedua
pedang dan menerbitkan suara nyaring, menyusul sinar pedang gemerlapan pula, dalam
sekejap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus lagi.
Mendadak pedang laki-laki setengah umur tadi menebas sekuatnya ke atas kepala pemuda
yang memakai pedang Jing-kong-kiam, namun sedikit mengegos ke samping, pemuda itu
balas menusuk paha lawan.
Serang-menyerang kedua orang itu berlangsung cepat lagi tepat, setiap jurus seakan-akan
mengadu jiwa.
Di sudut Lian-bu-thia atau ruang berlatih silat itu berduduk seorang tua berumur antara
setengah abad lebih, sambil mengelus jenggotnya yang panjang, dia kelihatan sangat senang.
Pada kedua sampingnya berdiri lebih 20 orang anak murid laki-laki dan perempuan,
semuanya asyik mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh perhatian.
Di samping sana berduduk belasan tamu undangan, mereka pun memusatkan perhatian
mengikuti pertandingan di tengah kalangan dengan mata tak berkedip.
Sementara itu sudah lebih 70 jurus pertandingan laki-laki setengah umur melawan si pemuda
tadi. Serang-menyerang makin lama makin sengit dan berbahaya, tapi tetap belum tampak
siapa akan menang atau kalah.
Sekonyong-konyong pedang lelaki setengah umur itu menebas sekuatnya, agaknya terlalu
keras menggunakan tenaga sehingga tubuhnya kehilangan imbangan dan sedikit terhuyung.
Tampak itu, tiba-tiba seorang pemuda berbaju putih di antara tetamu tadi mengikik geli,
segera ia sadar kelakuannya yang tak pada tempatnya itu, cepat ia dekap mulut sendiri.
Dan pada saat itulah mendadak si pemuda yang menggunakan Jing-kong-kiam tadi memukul
dengan telapak tangan kiri ke punggung laki-laki setengah umur.
Karena lelaki itu lagi sempoyongan, ia terus miringkan tubuh ke depan, berbareng pedang
berputar dengan cepat sambil membentak, "Kena!"
Kontan kaki kiri lawan kena ditusuknya.
Pemuda itu sempoyongan, untung pedangnya sempat dipakai menahan ke tanah, ia tegakkan
tubuh dan bermaksud bertempur lagi. Namun lelaki setengah umur itu sudah mengembalikan
pedang ke sarungnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, Tu-sute, lukamu tidak parah, bukan?"
Dengan muka pucat pemuda she Tu itu menjawab sambil menggigit bibir, "Terima kasih atas
kemurahan hati Kiong-suheng!"
Kesudahan pertandingan itu rupanya membuat si kakek berjenggot tadi bertambah senang,
dengan tersenyum ia berkata, "Sampai babak ini, Tang-cong (sekte timur) kami sudah menang
tiga kali, tampaknya 'Kiam-oh-kiong' (istana danau pedang) ini masih boleh dihuni lima tahun
lagi oleh Tang-cong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding lagi?"
Seorang To-koh atau imam perempuan, yang duduk di pojok barat sana menjawab dengan
penasaran, "Ya, Co-suheng ternyata pintar mendidik murid. Tapi selama lima tahun ini entah
sampai di mana peyakinan Co-suheng sendiri terhadap 'Bu-liang-giok-bik'."
Tiba-tiba kakek berjenggot itu memelotot, "Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan
golongan kita?"
Teguran itu membuat si To-koh menjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bicara lagi.
Kiranya kakek berjenggot itu bernama Co Cu-bok, dalam dunia Kangouw terkenal dengan
julukan "It-kiam-tin-thian-lam" atau sebatang pedang menjagoi kolong langit selatan. Ia
adalah Ciangbunjin atau ketua "Bu-liang-kiam" sekte timur. Sedang imam perempuan tadi
bergelar Siang-jing dengan julukan "Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap
bayangan, ia adalah ketua Bu-liang-kiam sekte barat.
Bu-liang-kiam sebenarnya terbagi dalam Tang-cong, Lam-cong dan Se-cong, atau sekte
timur, selatan dan barat. Tapi sudah lama sekte selatan terpencil lemah, sebaliknya sekte timur
dan barat banyak timbul tunas baru.
SejakBu-liang-kiam berdiri pada akhir dinasti Tong, lalu terbagi menjadi tiga sekte pada
permulaan dinasti Song, seterusnya setiap lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu
harus berkumpul di "Kiam-oh-kiong" untuk mengukur kekuatan, sekte mana yang menang,
berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu bertanding lagi pada tahun keenam
yang akan datang. Sekte mana yang akan memenangkan tiga babak dalam pertandingan lima
babak, dianggap menang.
Maka selama jangka waktu lima tahun itu, yang kalah semakin giat melatih diri agar bisa
merebut kemenangan dalam pertandingan yang akan datang, sebaliknya yang menang juga
tidak berani lengah. Tapi selama berpuluh tahun itu, sekte selatan tidak pernah menang,
sedangkan sekte timur dan barat masing-masing saling bergantian keluar sebagai juara.
Sampai pada tangan Co Cu-bok dan Sin Siang-jin, Tang-cong sudah menang dua kali dalam
pertandingan lima tahunan itu, sebaliknya sekte barat baru sekali menang. Pertandingan lakilaki
setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam
pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki-laki she Kiong itu, sekte timur sudah menang
tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu lagi dilanjutkan.
Nama Bu-liang-kiam sudah lama termasyhur di dunia Kangouw, ditambah lagi patuh pada
peraturan pertandingan lima tahunan di antara golongan sendiri, maka ilmu pedang mereka
makin lama semakin bagus.
Karena sibuk "perang saudara" itulah maka jarang mereka bertengkar dengan orang luar,
tokoh-tokoh mereka kebanyakan hidup aman tenteram dan adem ayem sampai hari tua, jarang
terbinasa karena bunuh-membunuh dalam permusuhan dengan orang luar. Pula sekte timur
dan barat itu memandang pertandingan lima tahunan itu besar sangkut-pautnya dengan
kehormatan sekte masing-masing, maka pada waktu mengajar murid, sang guru mencurahkanperhatian sepenuhnya, sebaliknya si murid giat berlatih siang malam tanpa kenal lelah,
sehingga banyak jurus ilmu pedang baru yang diciptakan oleh setiap angkatan.
Di antara orang-orang yang duduk di sudut barat itu, kecuali Siang-jing, masih banyak pula
tamu tokoh Bu-lim (dunia persilatan) terkemuka yang diundang oleh kedua sekte itu untuk
hadir sebagai saksi dan juri.
Di antara kedelapan orang saksi yang hadir itu, semuanya jago-jago persilatan terkemuka di
daerah Hunlam. Hanya si pemuda baju putih tadi yang sama sekali tidak terkenal dan dikenal,
tapi justru ia tertawa geli ketika melihat lelaki she Kiong rada sempoyongan.
Pemuda berbaju putih itu ikut hadir bersama jago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek.
Sebagai saudagar teh yang kaya raya, Be Ngo-tek terkenal bertangan sangat terbuka, setiap
orang persilatan yang sedang dirundung nasib malang dan datang minta bantuannya, pasti dia
melayani dengan segala senang hati. Sebab itulah pergaulannya dengan orang Bu-lim sangat
luas, sebaliknya tentang ilmu silatnya tiada sesuatu yang luar biasa.
Ketika hadir dan mendengar Be Ngo-tek memperkenalkan pemuda baju putih itu she Toan,
Co Cu-bok tidak menaruh perhatian apa-apa, sebab Toan adalah nama keluarga kerajaan Tayli
di daerah Hunlam yang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan tentu adalah murid Be
Ngo-tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu hanya biasa saja, muridnya tentu juga tidak sulit
untuk diukur. Maka ia hanya menyambut mereka ke tempat duduk yang sudah disediakan.
Siapa duga pemuda itu berani menertawai anak murid Co Cu-bok ketika menggunakan jurus
pancingan tadi.
Dalam pada itu karena sudah menang tiga kali di antara empat babak pertandingan,
kemenangan sekte timur sudah pasti, maka beberapa tokoh yang menjadi juri, seperti murid
tertua dari Tiam-jong-pay, Liu Ci-hi, Leng-siau-cu, imam dari kuil Giok-cin-koan di Ay-losan,
Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, beramai-ramai sama mengucapkan
selamat pada Co Cu-bok.
Dengan tertawa senang Co Cu-bok berkata, "Empat murid yang diajukan Sin-sumoay tahun
ini, ilmu pedangnya ternyata boleh juga, lebih-lebih babak keempat ini, kemenangan kami
boleh dikatakan sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit yang masih muda ini tidaklah terbatas
hari depannya, bukan mustahil lima tahun yang akan datang sekte timur dan barat kita akanbertukar tempat, Hahaha!"
Begitulah habis terbahak-bahak, mendadak lirikan matanya mengarah pada pemuda she Toan,
lalu berkata pula, "Tadi muridku yang tak becus itu menggunakan tipu pancingan untuk
mengalahkan lawan, tapi saudara ini tampaknya merasa tidak sepaham. Kita adalah orang
sendiri, jika Toan-heng ada minat, marilah silakan turun kalangan memberi petunjuk sejurusdua?
Nama Be-goko mengguncangkan Tin-lam (Hunlam selatan), di bawah panglima pandai
tiada prajurit lemah, tentu anak muridnya tidak boleh dipandang enteng."
Muka Be Ngo-tek menjadi merah, cepat sahutnya, "Harap Co-hiante jangan salah mengerti.
Toan-heng ini bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian 'cakar-kucing' yang
kumiliki ini mana ada harganya menjadi guru orang, harap Co-hante jangan bergurau.
Kedatangan Toan-heng ini ke sini hanya secara kebetulan saja ingin ikut menyaksikan
keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan di antara kedua sekte golonganmu,
maka tanpa pikir aku telah mengajaknya kemari."
Mendengar pemuda she Toan itu tiada hubungan apa-apa dengan Be Ngo-tek, Co Cu-bok
pikir kebetulan malah, sebab kalau dia muridnya, betapa merasa sungkan.
"Orang macam apa aku Co Cu-bok ini sehingga ada orang berani terang-terangan menertawai
Bu-liang-kiam di dalam Kiam-oh-kiong sini?" Karena berpikir demikian, dengan tertawa
dingin Co Cu-bok berkata pula, "O, kiranya demikian. Mohon tanya siapakah nama Toanheng
yang terhormat, entah murid orang kosen dari mana?"
"Cayhe bernama Ki, satu huruf melulu, tidak pernah mengangkat guru juga tidak pernah
belajar silat," sahut pemuda she Toan itu. "Karena geli melihat orang sempoyongan akan
jatuh, entah dia pura-pura atau sungguhan, aku jadi tertawa."
Mendengar jawaban yang kurang sopan itu, sedikit pun tiada rasa hormat, Co Cu-bok
bertambah mendongkol, katanya, "Apanya yang menggelikan?"
"Kalau seorang berdiri baik-baik, tentu tidak lucu. Tapi kalau seorang akan jatuh, tampaknya
menjadi lucu dan menggelikan," sahut Toan Ki dengan acuh tak acuh sambil mengebas kipas
lempitnya.
Dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu
saja hati merasa panas oleh cara bicara si pemuda yang semakin kurang ajar itu. Tapi biarpun
Co Cu-bok berwatak angkuh, namun orangnya sangat hati-hati, tidak gegabah bertindak,
maka ia pun tidak lantas marah-marah, katanya pada Be Ngo-tek, "Be-goko, apakah Toanheng
ini adalah sahabat baikmu?"
Be Ngo-tek adalah seorang kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanyaan
itu, terang jago Bu-liang-kiam itu sudah ambil keputusan akan memberi hajaran pada Toan
Ki. Padahal ia sendiri juga baru kenal pemuda itu.
Sebagai seorang yang bertangan terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia
membawanya. Kini melihat gelagatnya, sekali turun tangan, Co Cu-bok pasti tidak sungkansungkan
lagi. Seorang pemuda baik-baik, sayang kalau mesti mengalami aniaya demikian itu.
Maka cepat katanya, "Aku dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang
bersama, tampaknya tertawa Toan-heng tadi pun tidak disengaja. Baiknya begini saja,
memangnya perutku sudah keroncongan, harap Co-hiante lekas keluarkan hidangan, biarkami menyuguhkan padamu tiga cawan. Hari baik yang harus gembira ini, untuk apa Cohiante
mesti urusan dengan seorang muda?"
"Jika Toan-heng bukan sobat baik Be-goko, itulah lebih baik," ujar Co Cu-bok. "Betapa pun
aku perlakukan dia, takkan dianggap membikin malu pada Be-goko. Nah, Jin-kiat, tadi kau
ditertawai orang, majulah dan minta pelajaran padanya!"
Laki-laki setengah umur yang bernama Kiong Jin-kiat itu memang sangat mengharapkan
perintah sang guru itu, segera saja ia lolos pedang dan maju ke tengah, ia memberi hormat
pada Toan Ki sambil berkata, "Marilah, sobat Toan, silakan!"
"Hm, bagus! Bolehlah kau mulai, kau berlatih, aku melihat!" ucap Toan Ki.
"Hah, apa ... apa katamu?" teriak Kiong Jin-kiat dengan gusar sehingga wajahnya merah
padam.
"Kau membawa pedang, tentunya akan main pedang, bukan?" sahut Toan Ki. "Maka bolehlah
mulai, biar kami sama menonton."
"Tapi guruku suruh kau pun maju ke sini, mari kita coba-coba bertanding," teriak Jin-kiat.
Toan Ki goyang-goyang kepala sambil tiada berhenti mengebas kipasnya, sahutnya, "Gurumu
adalah gurumu, gurumu bukan guruku. Gurumu boleh menyuruhmu, gurumu tak boleh
menyuruh aku. Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan sudah kau lakukan
tadi. Gurumu suruh aku coba-coba bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua aku
takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau bertanding. Sekali aku
bilang tidak, tetap tidak."
Mendengar jawaban yang serba"gurumu" yang membingungkan itu, banyak di antara hadirin
menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-jing, maka suasana
yang tadinya angker tegang seketika buyar sirna menjadi santai.
Keruan Kiong Jin-kiat tambah murka, dengan langkah lebar ia mendekati Toan Ki, ia tuding
dada pemuda itu dengan ujung pedangnya dan membentak, "Apa kau benar-benar tidak bisa
atau hanya pura-pura tolol dan berlagak pilon?"
Walaupun menghadapi ancaman pedang yang bila sedikit disorong ke depan pasti dadanya
akan tembus, namun sedikit pun Toan Ki tidak gentar, sahutnya, "Aku pura-pura, tapi
memang juga benar-benar tidak bisa."
"Kau berani main gila ke Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali sudah bosan hidup?" semprot
Kiong Jin-kiat. "Kau sebenarnya anak murid siapa? Siapa yang menyuruhmu mengacau ke
sini? Kalau tidak mengaku terus terang, jangan menyesal bila pedang tuanmu ini tidak kenal
ampun."
Toan Ki tetap acuh tak acuh, ia menguap sambil mengulet kemalasan, lalu sahutnya, "Buliang-
kiam sangat terkenal di Kangouw, asal aku tetap diam saja, rasanya tidak nanti kau
bunuh aku di depan para Locianpwe sekian banyak ini."
Mendadak Kiong Jin-kiat simpan pedangnya, tapi tangan lain tiba-tiba menempeleng, "plok",
dengan tepat pipi Toan Ki kena digampar sekali.
Toan Ki sedikit miringkan kepalanya, namun tak dapat menghindar, seketika mukanya yang
putih bersih itu merah bengap dan timbul cap lima jari.
Kejadian ini membikin hadirin sangat terkejut. Semula melihat sikap Toan Ki yang acuh tak
acuh tanpa gentar itu, mereka menyangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat mahatinggi,
maka berani meremehkan lawan. Siapa duga tempelengan Kiong Jin-kiat yang sepele itu tak
bisa dihindarnya, tampaknya pemuda ini memang betul sedikit pun tak bisa ilmu silat.
Ini sungguh luar biasa!
Umumnya orang hanya mendengar cerita tentang jago silat kosen sengaja pura-pura bodoh
untuk menggoda lawan, tapi tidak mungkin seorang yang tidak mahir ilmu silat berani main
gila.
Bagi Kiong Jin-kiat sendiri yang secara mudah berhasil menempeleng orang, seketika ia rada
terkesima juga. Tapi segera ia jambret dada baju Toan Ki serta diangkat ke atas sambil
membentak, "Tadinya kukira seorang tokoh yang tak dikenal, siapa tahu tak becus begini!"
Terus saja ia banting tubuh orang ke tanah.
"Bluk", Toan Ki terbanting keras ke lantai, kepala membentur kaki meja hingga benjut.
Be Ngo-tek merasa tidak tega, cepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata, "Kiranya
Laute (saudara) memang tak bisa ilmu silat, lantas untuk apa ikut ke sini?"
Toan Ki meraba-raba batok kepalanya yang benjut itu, sahutnya dengan tertawa,
"Memangnya aku melulu datang untuk menonton keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liangkiam
paling-paling juga cuma begini saja, sang guru dan si murid berjiwa kerdil pula,
tampaknya juga takkan mampu lebih maju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi saja."
Tiba-tiba seorang murid Co Cu-bok yang lain melompat maju mengadang di depan Toan Ki,
katanya, "Jika engkau tidak mahir ilmu silat, lantas mau pergi mencawat ekor begini saja
memang bolehlah. Tapi kenapa kau mengolok-olok ilmu pedang kami hanya biasa saja dan
paling-paling hanya sekian? Sekarang kuberi dua jalan padamu dan boleh kau pilih. Pertama
boleh coba-coba ilmu pedang kami yang hanya begini saja ini, atau kau menyembah delapan
kali kepada guruku dan mengaku omonganmu sendiri cuma 'kentut' belaka!"
"O, kau kentut? Kenapa tidak bau?" sahut Toan Ki dengan tertawa.
Murid muda itu menjadi gusar, segera bogem mentahnya menjotos ke hidung Toan Ki.
Pukulan ini sangat keras, tampaknya hidung Toan Ki pasti akan bocor dan keluar kecapnya.
Tak terduga baru kepalan sampai setengah jalan, tiba-tiba dari udara menyambar tiba sesuatu
dan melilit di pergelangan tangan murid muda itu.
Benda itu lemas-lemas dingin dan licin, begitu melilit, terus bergerak merambat.
Keruan pemuda itu terkejut dan cepat menarik tangannya, waktu diperiksa, ternyata yang
melilit di tangannya itu adalah seekor ular Jik-lian-coa atau ular rantai merah yang berwarna
belang-bonteng menyeramkan, panjangnya kira-kira 30 senti.
Dalam kagetnya, pemuda itu menjerit sambil mengipas-kipaskan tangannya dengan maksud
melepaskan lilitan ular kecil itu, tapi binatang itu semakin erat melilit di tangannya tak mau
lepas.
Mendadak Kiong Jin-kiat juga berteriak, "Ular, ular!"
Wajahnya tampak berubah hebat sambil tangan menggagap ke dalam baju sendiri, lalu
meraba leher, punggung dan ketiak, tapi tiada sesuatu yang kena dipegangnya, saking
gugupnya sampai Jin-kiat berjingkrak-jingkrak, buru-buru ia lepas baju sendiri.
Datangnya perubahan ini sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran,
tiba-tiba terdengar di atas kepala mereka ada suara orang mengikik sekali.
Waktu semua orang mendongak, buset, ternyata di atas belandar rumah duduk seorang anak
dara jelita, kedua tangannya penuh memegang bermacam ular.
Dara jelita itu berusia antara 16-17 tahun, berbaju hijau, wajah cantik, tersenyum
menggiurkan. Pada tangannya sedikitnya memegangi belasan ekor ular yang kecil dan
macam-macam warnanya, hijau, merah, hitam, belang dan warna lain, jelas semuanya adalah
ular berbisa. Tapi dara cilik itu memegangi ular-ular berbisa itu bagai barang mainan belaka,
sedikit pun tidak jeri. Bahkan beberapa ular di antaranya merayap ke muka dan pipinya bagai
seorang anak lagi dimanjakan sang ibu yang penuh kasih sayang.
Semua orang hanya sekilas menengok saja, segera terdengar Kiong Jin-kiat dan Sutenya
menjerit-jerit, maka cepat mereka berpaling memandang kedua orang itu. Sebaliknya Toan Ki
lantas mendongak dan memandang si dara cilik itu dengan terkesima.
Gadis itu duduk di atas belandar sambil kedua kakinya berayun-ayun bagai anak kecil.
Melihat dia, entah dari mana datangnya lantas timbul rasa suka dalam hati Toan Ki, katanya
segera, "Nona, apakah engkau yang menolong aku?"
"Ya," sahut dara cilik itu. "Orang jahat itu memukulmu, kenapa tidak kau balas hantam dia?"
"Aku tidak bisa membalas ...." baru sekian Toan Ki menjawab, mendadak terdengar teriakan
tertahan orang banyak.
Waktu Toan Ki berpaling, terlihat Co Cu-bok sudah menghunus pedang, mata pedang tampak
bernoda darah, sedang ular Jik-lian-coa tadi sudah terkutung menjadi dua di lantai, terang
kena ditebas mati oleh pedang Co Cu-bok itu.
Sementara itu baju atas Kiong Jin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telanjang ia
masih berjingkrak-jingkrak kelabakan, seekor ular hijau kecil tampak merayap kian kemari di
punggungnya, ia ulur tangan ke belakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukannya
tetap tak berhasil.
"Jangan bergerak, Jin-kiat!" bentak Co Cu-bok.
Selagi Jin-kiat merandek, tiba-tiba sinar perak berkelebat, ular hijau itu sudah tertebas
menjadi dua potong. Gerakan Co Cu-bok itu secepat kilat hingga semua orang tidak tahu jelas
cara bagaimana ia turun tangan, tahu-tahu ular hijau itu terkutung jatuh ke lantai, sebaliknya
punggung Kiong Jin-kiat sedikit pun tidak cedera. Betapa jitu dan cepat permainan pedang Co
Cu-bok itu, seketika bersoraklah orang memuji.
"Hm, hanya membunuh seekor ular kecil, kenapa mesti heran?" jengek Toan Ki.
Sedang dara cilik di atas belandar lantas berteriak-teriak, "Hai, si kakek jenggot, kenapa kau
binasakan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan lagi padamu sekarang!"
"He, kau anak perempuan siapa, untuk apa datang ke sini?" tegur Co Cu-bok dengan gusar.
Diam-diam ia sangat heran, bilakah gadis cilik ini berada di atas belandar? Padahal di tengah
ruangan besar ini terdapat sekian banyak tokoh terkemuka, masakah tiada seorang pun yang
tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asyik mengikuti pertandingan Tang-cong dan Se-cong,
tapi mustahil tidak mengetahui kalau di atas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau
kejadian ini tersiar di dunia Kangouw, lantas muka "Bu-liang-kiam" akan ditaruh ke mana?
Gadis cilik itu tidak menjawab pertanyaan Co Cu-bok, kedua kakinya masih bergerak-gerak
ke muka dan ke belakang, tampak sepatunya bersulam bunga kuning kecil, ujung sepatu
dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan kecil
yang lazim.
Maka kembali Co Cu-bok berkata, "Lekas melompat turun kemari!"
"Jangan!" tiba-tiba Toan Ki berseru. "Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak
terbanting? Lekas ambilkan tangga!"
Mendengar itu, banyak orang tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-cong sama
berpikir, "Orang ini tampak cakap dan ganteng, tapi ternyata seorang dogol. Kalau gadis cilik
itu mampu naik ke atas belandar tanpa diketahui jago silat sebanyak ini, dengan sendirinya
ilmu silatnya pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga, kan lelucon yang
tidak lucu?"
Sementara itu terdengar si gadis kecil sedang menjawab, "Harus kau ganti dulu kedua ularku,
baru aku mau turun bicara padamu."
"Hanya dua ekor ular saja, kenapa dibuat pikiran, di mana-mana dapat kutangkap dua ular
seperti ini," ujar Co Cu-bok.
Nyata diam-diam ia sudah jeri terhadap gadis cilik itu. Gadis semuda itu telah berani bermain
ular berbisa, tak pelak lagi di belakang si gadis tentu masih ada guru atau orang tua yang
sangat lihai, maka nada bicaranya sedapat mungkin mengalah pada si gadis.
Dengan tertawa gadis itu mendebat, "Omong sih gampang, cobalah kau tangkap dulu ekor
ular seperti itu."
"Lekas melompat turun!" kembali Co Cu-bok mendesak.
"Tidak mau!" sahut si gadis.
"Jika tetap bandel, segera kuseret turun," ujar Co Cu-bok.
Gadis itu terkikik-kikik, jawabnya, "Boleh kau coba menarik, kalau kena, anggap kau pintar!"
Sungguh serbarunyam Co Cu-bok menghadapi seorang gadis cilik nakal seperti itu, katanya
pada Siang-jing, "Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuan naik ke atas untuk
menyeretnya turun."
"Anak murid Se-cong tiada yang memiliki Ginkang setinggi itu," sahut Siang-jing.
Co Cu-bok menjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar si dara
cilik berseru, "He, tidak mau kau ganti ularku, ya? Nih, kuperlihatkan sesuatu yang lihai, biar
kalian tahu rasa!"
Segera dari bajunya ia merogoh keluar sesuatu benda yang mirip seutas rantai emas dan
disambitkan ke arah Kiong Jin-kiat.
Jin Kiat menyangka tentunya semacam Am-gi atau senjata rahasia yang aneh, maka tidak
berani menangkapnya dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga
rantai emas itu adalah seekor ular emas yang kecil.
Ular kecil itu sangat gesit gerak-geriknya, sekali hinggap di punggung Kiong Jin-kiat, terus
saja merayap ke dada, ke muka, ke leher dan ke perut dengan cepat luar biasa.
"Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik!" seru Toan Ki sambil tertawa senang.
Ular emas kecil itu merayap makin cepat, hingga antero badan Kiong Jin-kiat seakan-akan
kemilauan oleh cahaya emas dan membikin pandangan semua orang menjadi silau.
Mendadak Leng-siau-cu, itu imam dari Giok-cin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam
kejutnya ia berseru, "Bukankah ini Kim-leng-cu dari 'Uh-hiat-su-leng'?"
"Numpang tanya, To-heng, permainan apakah 'Uh-hiat-su-leng' itu?" tanya Be Ngo-tek.
Air muka Leng-siau-cu berubah, sahutnya, "Di sini bukan tempat bicara, kelak saja kita
omong-omong lagi."
Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis cilik di atas belandar sembari memberi hormat,
"Terimalah hormat Leng-siau-cu, nona!"
Meski tangannya penuh memegang macam-macam ular, namun dara cilik itu masih sempat
merogoh saku dan mengambil sebiji kuaci dan dimasukkan ke mulut, ia hanya tersenyum
kepada Leng-siau-cu tanpa menjawab.
Leng-siau-cu berpaling kepada Co Cu-bok, katanya, "Kionghi atas kemenangan yang dicapai
pihak Co-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan kumohon
diri dulu!"
Dan tanpa menunggu jawaban Co Cu-bok, buru-buru ia bertindak keluar, ketika lewat di
samping Kiong Jin-kiat, ia menyingkir jauh-jauh dengan rasa ketakutan.
Co Cu-bok tidak urus sikap orang itu karena lagi mencurahkan perhatian pada ular emas tadi,
sebaliknya Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnya, "Ilmu golok dari Giok-cin-koan
terhitung salah satu kepandaian khas dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanya Leng-siaucu
pun angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia menjadi ketakutan? Terhadap
nona cilik itu pun ia sangat menghormat, entah apa sebabnya?"
Tiba-tiba terdengar gadis cilik tadi bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merayap ke
muka Kiong Jin-kiat, cepat Jin-kiat menangkap dengan kedua tangannya, tapi ular emas itu
teramat cepat, badan ular saja tak bisa disentuh tangan Kiong Jin-kiat. Keruan ia tambah
kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.
Segera Co Cu-bok melangkah maju, pedang menusuk cepat, tatkala itu ular emas lagi
merayap ke atas mata kiri Kiong Jin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget,
dapatlah menghindar. Sebaliknya ujung pedang Co Cu-bok pun berhenti di depan kelopak
mata sang murid.
Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton sama merasa kagum.
Bayangkan saja, asal ujung pedang setengah senti lebih maju, pasti biji mata Kiong Jin-kiat
sudah dibutakan.
Diam-diam Sin Siang-jing membatin, "Ilmu pedang Co-suheng ternyata sudah sedemikian
saktinya, aku harus mengaku bukan tandingannya, terutama jurus 'Kim-ciam-toh-kiap' (jarum
emas menolak baju) barusan, terang aku tak bisa mengungguli dia."
Sementara itu Co Cu-bok telah menyerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti
punya mata di punggungnya, setiap kali dapat menyelamatkan diri.
"Hai, kakek jenggot, ilmu pedangmu bagus juga!" seru si dara cilik. Tiba-tiba ia bersuit lagi,
cepat ular emas itu merayap ke bawah terus menghilang.
Selagi Co Cu-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu-tahu Kiong Jin-kiat sibuk meraba paha
sambil berjingkrak-jingkrak, ternyata ular emas itu telah menerobos ke dalam celananya.
"Hahahaha!" Toan Ki tertawa geli. "Tontonan hari ini benar-benar sangat menyenangkan,
hahaha!"
Dalam pada itu Kiong Jin-kiat telah melepaskan celana hingga tertampak kedua pahanya yang
penuh berbulu lebat. Namun dara cilik itu memang masih kekanak-kanakan, sama sekali ia
tidak kenal urusan lelaki dan perempuan, bahkan ia terus berseru, "Kau terlalu jahat, suka
menganiaya orang, biarkan kau telanjang bulat. Coba malu atau tidak!"
Habis berkata, ia bersuit lagi.
Ular emas itu benar-benar sangat penurut, sekali mengegos terus menyusup pula, kali ini lebih
lucu lagi, celana dalam Kiong Jin-kiat yang diterobos.
Keruan Kiong Jin-kiat semakin kelabakan. Sudah tentu, bagaimanapun ia tak dapat lepas
celana dalam di hadapan orang banyak. Ia menjerit sekali terus berlari keluar.
Tapi celaka tiga belas, baru berlari sampai di ambang pintu, mendadak dari luar juga
menyerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem "bluk", kedua orang itu saling
tumbuk dengan keras.
Tabrakan ini benar-benar sangat keras, tapi Kiong Jin-kiat hanya terpental mundur beberapa
tindak, sebaliknya orang dari luar itu terus jatuh terjengkang ke lantai.
"He, Yong-sute!" seru Co Cu-bok kaget.
Melihat siapa yang telah ditabrak olehnya, cepat Kiong Jin-kiat maju membangunkannya,
rupanya ia lupa bahwa si ular emas masih mengeram di dalam celana. Maka baru saja orang
itu ditarik bangun, begitu merasa si ular merayap di dalam celana, kembali ia menjerit sambil
berusaha hendak menangkap ular nakal itu, dan karena pegangan terlepas, orang yang sudah
dibangunkan itu terbanting roboh pula.
Tentu saja kejadian lucu itu sangat menggelikan si dara cilik di atas belandar, setelah puas
mengikik tawa, akhirnya ia berkata, "Rasanya sudah cukup kau dihajar!"
Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas kecil itu lantas merayap keluar dari celana dalam
Kiong Jin-kiat terus merayap ke atas dinding tembok dengan kecepatan luar biasa, lalu
kembali ke pangkuan si gadis.
Untuk kedua kalinya dapatlah Kiong Jin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget,
"Yong-susiok, ken ... kenapa engkau?"
Waktu Co Cu-bok memburu maju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wajahnya
penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnya sudah putus. Kejut Co Cu-bok tak terkatakan,
lekas ia berusaha menolong, namun tak berdaya lagi.
Kiranya orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik seperguruan Co Cu-bok. Meski
ilmu silatnya lebih rendah daripada sang Suheng, namun jauh di atas Kiong Jin-kiat. Maka
aneh sekali bahwa tabrakan tadi tak bisa dihindarkannya, bahkan sekali tabrak roboh binasa.
Co Cu-bok tahu sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka cepat ia
membuka baju Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu baju terbuka, segera tertampak di dada
Yong Goan-kui jelas tertulis sebaris huruf, "Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi
Bu-liang-kiam!"
Huruf-huruf hitam yang dekuk melekat di daging itu bukan ditulis dengan tinta, juga bukan
ukiran benda tajam. Setelah ditegasi, Co Cu-bok menjadi gusar, ia angkat pedangnya hingga
berbunyi mendenging, teriaknya dengan murka, "Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang yang
akan membasmi Bu-liang-kiam atau Bu-liang-kiam yang akan memusnahkan Sin-long-pang?
Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah tak mau hidup lagi!"
Kiranya huruf-huruf yang terdapat di dada Yong Goan-kui itu ditulis dengan semacam obat
racun, daging yang terkena racun lantas membusuk dan dekuk ke dalam.
Waktu Co Cu-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, ternyata tiada tanda luka lain. Segera ia
membentak, "Jin-ho, Jin-kiat, melihat keluar sana!"
Karena kejadian itu, seketika suasana dalam ruangan besar itu menjadi gempar, semua orang
tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara cilik di atas belandar itu, tapi beramai-ramai merubung
jenazahnya Yong Goan-kui serta mempercakapkan peristiwa ini.
"Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas," kata Be Ngo-tek setelah berpikir
sejenak. "Co-hiante, entah sebab apa mereka bermusuhan dengan golonganmu?"
Karena berduka atas matinya sang Sute, Co Cu-bok menjawab dengan terguguk-guguk, "Itu
... itu disebabkan urusan mencari obat. Musim rontok tahun yang lalu, empat Hiangcu
(hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mencari
semacam obat di belakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnya urusan kecil, Sinlong-
pang memang hidup dari memetik obat dan menjual jamu. Biasanya tiada banyak
berhubungan dengan golongan kami, tapi juga tiada permusuhan apa-apa. Namun Be-goko
tentu tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, jangankan Sinlong-
pang, sekalipun para sobat kental juga dilarang pesiar ke sana, ini adalah peraturan
turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinya kami tidak berani melanggarnya. Padahal
urusan ini pun tidak jadi soal ...."
Sampai di sini, tiba-tiba dari luar melangkah masuk seorang dengan tindakan perlahan dan
lesu.
Aneh, Leng-siau-cu dari Giok-cin-koan yang terburu-buru pergi karena takut pada ular emas
tadi kini telah kembali.
Imam itu tunduk kepala dan lesu, mukanya terdapat sejalur luka, kopiah di atas kepalanya
juga sudah lenyap, rambut terurai kusut, terang baru saja dia telah dihajar orang.
"Leng-siau Toheng, ken ... kenapa kau?" tanya Co Cu-bok kaget.
Dengan gemas Leng-siau-cu menjawab, "Sungguh belum pernah kulihat manusia sewenangwenang
seperti ini, katanya tidak boleh pergi dari sini dan ... dan aku sendirian tak ... tak
mampu melawan mereka yang banyak, maka ...."
"Apakah engkau bergebrak dengan orang Sin-long-pang?" tanya Co Cu-bok.
"Ya, siapa lagi kalau bukan mereka?" sahut Leng-siau-cu penasaran. "Mereka telah
menduduki jalan-jalan penting di sekitar gunung, katanya sebelum esok pagi, siapa pun
dilarang turun gunung."
Dalam pada itu si dara cilik di atas belandar tadi masih asyik menyisil kuaci sambil mengayun
kedua kakinya ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba ia sambitkan kulit kuaci ke batok kepala
Toan Ki dan berkata dengan tertawa, "He, kau kepingin makan kuaci tidak? Marilah naik ke
sini!"
"Tidak ada tangga, aku tak sanggup naik ke situ," sahut Toan Ki.
"Itu gampang," ujar si gadis. Terus saja ia lepaskan seutas tali panjang warna hijau pupus dari
pinggangnya, katanya pula, "Pegang erat tali ini, biar kukerek kau ke atas."
"Badanku cukup berat, mana mampu kau kerek diriku?" ujar Toan Ki.
"Boleh coba, paling-paling kau akan mati terbanting," sahut si gadis dengan tertawa.
Melihat tali itu tergantung di depan hidungnya, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnya. Di
luar dugaan, apa yang terpegang itu terasa basah-basah dingin, bahkan terasa kelogat-keloget
bisa bergerak. Waktu ditegasi ... astaga!
Benda yang tadinya disangka tali pinggang itu ternyata adalah seutas tali hidup alias ular,
cuma badan ular itu sangat panjang dan kecil, atas dan bawah sama besarnya, sepintas
pandang orang pasti tak menyangka kalau itu adalah ular hidup. Keruan Toan Ki kaget dan
cepat lepas tangan.
Dara cilik itu mengikik geli, katanya, "Ini adalah Jing-leng-cu, lebih lihai daripada Thi-soacoa
(ular kawat besi), biarpun ditebas dengan pedang juga takkan putus. Ayo, lekas pegang
yang erat!"
Toan Ki tabahkan hati dan kerahkan seluruh keberanian buat pegang badan ular tadi, ia
merasa badan ular itu rada kasap dan tidak terlalu licin.
"Pegang yang erat!" seru si gadis sambil mengangkat ke atas dengan perlahan hingga tubuh
Toan Ki terapung di atas tanah. Hanya beberapa kali tarikan saja, gadis itu sudah mengerek
Toan Ki ke atas belandar.
Toan Ki menjadi kagum dan takut-takut pula melihat gadis cilik itu mengikat Jing-leng-cu ke
pinggangnya hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanyanya, "Apakah ularmu tidak
menggigit orang?"
"Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit,
jangan takut," sahut gadis itu.
"Apakah kau yang piara ular-ular ini, sudah jinak ya?" tanya Toan Ki lagi.
"Ya, coba memegangnya," kata si gadis sambil mengangsurkan seekor ular kecil padanya.
Tentu saja Toan Ki kelabakan, serunya gugup, "He, jangan, jangan! Aku tidak mau."
Ia menggoyang-goyang tangannya sembari menggeser tubuh ke belakang, dan karena
duduknya kurang tepat, hampir saja ia terjungkal ke bawah belandar.
Untung si gadis keburu menjambret kuduknya dan menariknya ke samping lagi, katanya
dengan tertawa, "Apakah engkau benar tak mahir ilmu silat? Sungguh aneh!"
"Kenapa aneh?" tanya Toan Ki.
"Engkau tak bisa ilmu silat, tapi berani datang ke sini seorang diri, tentu saja kau akan
dianiaya oleh mereka yang jahat itu," ujar si gadis. "Sebenarnya untuk apa kau datang ke
sini?"
Melihat sikap ramah si gadis, meski baru kenal, tapi menganggapnya seperti sobat lama, maka
selagi Toan Ki hendak menceritakan maksud kedatangannya, tiba-tiba terdengar suara
langkah orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranya adalah Kam Jin-ho dan Kiong Jinkiat
berdua.
Waktu itu Kiong Jin-kiat sudah mengenakan kembali celananya, hanya bagian atas masih
telanjang.
Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Co Cu-bok dan
melapor, "Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul di atas gunung depan, jalan-jalan
penting telah dijaga, kita dilarang turun gunung. Karena jumlah musuh lebih banyak, sebelum
mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarang turun tangan."
"Ehm, ada berapa banyak mereka?" tanya Cu-bok.
"Kira-kira 70 sampai 80 orang," sahut Jin-ho.
"Hm, hanya sejumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanya takkan semudah
itu!" jengek Co Cu-bok.
Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara mendengung di udara, dari luar terbidik
masuk sebatang panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Jin-kiat tangkap tangkai panah itu
sebelum jatuh ke tanah. Ternyata di atas panah terikat sepucuk surat. Jelas kelihatan pada
sampul surat itu tertulis, "Ditujukan untuk Co Cu-bok."
Waktu Jin-kiat menyerahkan surat itu pada sang guru, Cu-bok menjadi gusar membaca tulisan
pada sampul yang kurang hormat itu, katanya, "Coba membukanya!"
Jin-kiat mengiakan dan merobek sampul surat itu.
Saat itulah, si dara cilik membisiki Toan Ki, "Orang jahat yang menjotos engkau itu segera
akan mampus!"
"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.
"Di atas panah dan surat itu beracun semua," sahut si gadis.
"Masakah begitu lihai?" ujar Toan Ki.
Sementara itu terdengar Jin-kiat membaca isi surat yang telah dibukanya itu, "Sin-long-pang
memberitahukan pada Co ...." ia merandek karena tidak berani menyebut nama sang guru, lalu
melanjutkan, "... kalian diberi tempo dalam satu jam, seluruhnya harus keluar dari Kiam-ohkiong,
masing-masing mengutungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar seantero isi
istanamu, tua-muda, besar-kecil, ayam dan anjing pun tak terkecuali dari kematian."
"Hm, Sin-long-pang itu macam apa, begitu besar mulutnya!" jengek Liu Cu-hi, itu jago dari
Tiam-jong-pay.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan, tahu-tahu Kiong Jin-kiat roboh terjungkal.
Saat itu Kam Jin-ho masih berdiri di samping sang Sute, ia berteriak kaget, "Sute!"
Segera ia bermaksud membangunkan saudara seperguruannya itu.
Namun Co Cu-bok keburu menyela maju, ia dorong Jin-ho ke samping sambil membentak,
"Jangan sentuh tubuhnya! Mungkin beracun."
Benar juga, muka Kiong Jin-kiat tampak berkerut-kerut kejang, tangan yang memegang surat
tadi dalam sekejap saja sudah berubah hitam hangus, sekali kedua kakinya berkelejet,
putuslah napasnya.
Tiada satu jam lamanya, beruntun Bu-liang-kiam sekte timur sudah kematian dua jago
pilihannya. Keruan para tokoh silat yang hadir di situ sama terkesiap.
"Apakah kau pun orang Sin-long-pang?" tiba-tiba Toan Ki tanya si dara cilik dengan
perlahan.
"Hus, jangan kau sembarangan omong!" semprot si gadis.
"Habis, dari mana kau tahu panah dan surat itu beracun?" tanya Toan Ki.
Gadis itu tertawa, sahutnya, "Cara memberi racun itu terlalu kasar, lamat-lamat di atas panah
dan surat itu kelihatan ada selapis sinar fosfor. Caranya ini hanya bisa mencelakai orang yang
goblok saja."
Ucapan terakhir si gadis itu sengaja dibikin keras sehingga dapat didengar oleh semua orang
di dalam ruangan.
Segera Co Cu-bok memeriksa panah dan surat tadi, tapi tak terlihat sesuatu. Waktu diawasi
dari samping, benar juga lamat-lamat kelihatan gemerdepnya sinar fosfor.
"Siapakah she dan nama nona yang mulia?" segera Cu-bok tanya si gadis.
"She dan namaku yang mulia tak bisa kukatakan padamu, itu artinya rahasia tak boleh
dibongkar," sahut si gadis.
Dalam keadaan tertimpa malang, mendengar pula ucapan si gadis yang menggoda itu,
sedapatnya Co Cu-bok menahan perasaannya dan coba tanya pula, "Jika begitu, siapakah
ayahmu dan siapa gurumu? Dapatkah memberi tahu."
"Haha, jangan kira aku bisa kau tipu," sahut si gadis dengan tertawa. "Kalau kukatakan siapa
ayahku, tentu kau tahu aku she apa dan mudahlah menyelidiki namaku yang mulia. Tentang
guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih-lebih tak boleh kuberi tahukan pada orang luar."
Diam-diam Co Cu-bok mengingat-ingat siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam yang
suka piara ular. Tapi seketika ia pun tak ingat, sebab daerah Hunlam yang terkenal banyak
pegunungan dan hutan belukar, di mana-mana banyak terdapat ular, begitu pula orang yang
piara ular.
Segera Be Ngo-tek tanya Leng-siau-cu, "Leng-toheng, tadi kau sebut 'Uh-hiat-su-leng' segala,
apakah itu artinya?"
"Apa? Ah, kapan aku berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu," sahut Leng-siau-cu.
Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-cu sangat jeri
terhadap 'Uh-hiat-su-leng' yang disebutnya itu, sudah terang tadi tercetus dari mulutnya istilah
itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batu. Maka ia pun tidak tanya lebih jauh.
Dalam pada itu Co Cu-bok berkata pula terhadap si gadis, "Jika nona tidak sudi memberi
tahu, ya sudahlah. Silakan turun saja untuk berunding, Sin-long-pang melarang setiap orang
turun gunung, tentu kau pun akan dibunuh mereka."
"Hah, tidak nanti mereka berani membunuhku," sahut si gadis tertawa, "mereka hanya
membunuh orang Bu-liang-kiam. Justru ketika mendengar berita itu sengaja kudatang kemari
untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek jenggot, ilmu pedang kalian lumayan juga, tapi
tidak bisa menggunakan racun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!"
Apa yang dikatakan si gadis itu tepat mengenai titik kelemahan golongan "Bu-liang-kiam."
Kalau saling gebrak dengan kepandaian sejati, Kungfu Tang-cong dan Se-cong dari Bu-liangkiam,
serta delapan jago terkemuka yang diundang datang sebagai juri itu, betapa pun takkan
gentar terhadap Sin-long-pang, tapi kalau bicara tentang menggunakan racun dan
menawarkannya, semuanya memang tidak becus.
Diam-diam Co Cu-bok mendongkol mendengar ucapan si gadis bahwa kedatangannya itu
ingin menonton pembunuhan, seakan-akan makin banyak orang Bu-liang-kiam yang mati
terbunuh, akan membuat hatinya semakin senang.
Maka ia menjengek sekali, lalu bertanya pula, "Berita apakah yang didengar nona di tengah
jalan?"
Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, dia sudah biasa memerintah, maka
ucapannya itu seakan-akan mengharuskan si gadis lekas menjawabnya.
Tak terduga, tiba-tiba dara cilik itu berkata, "Eh, kau suka makan kuaci tidak?"
Keruan Co Cu-bok semakin panas hatinya, coba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar di
luar sana, tentu sejak tadi ia sudah memberi hajaran pada anak dara itu, sedapatnya ia
menahan gusar, sahutnya, "Tidak suka!"
"Kuaci apakah itu?" mendadak Toan Ki menimbrung. "Apakah digoreng dengan bawang?
Atau gorengan Ngo-hiang? Atau bumbu vanili? Tampaknya enak juga."
"Aneh, masa begitu banyak juga cara menggoreng kuaci?" sahut si gadis. "Aku tidak tahu
kuaci ini digoreng dengan bumbu apa. Yang terang, ibuku menggoreng kuaci ini dengan
empedu ular. Kalau sering makan akan membikin mata terang dan otak tajam. Kau mau
mencicipi?"
Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh di tangan Toan Ki.
Mendengar kuaci gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki menjadi mual.
"Kalau tidak biasa, memang rasanya sedikit pahit," ujar si gadis lagi. "Padahal enak dan gurih
sekali."
Merasa tidak enak untuk menolak maksud baik si gadis, Toan Ki coba-coba menyisil sebiji
kuaci itu, begitu menempel bibir, rasanya memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan
dikunyah, eh, rasanya benar gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus saja ia menyisil kuaci
itu tanpa berhenti.
Kulit kuaci satu per satu ia taruh di atas belandar, sebaliknya dara cilik itu tidak peduli, ia
semburkan kulit kuaci sekenanya, keruan kulit kuaci itu beterbangan di atas kepala para jago
silat itu hingga mereka sibuk menghindar sambil berkerut kening.
Maka Co Cu-bok bertanya lagi, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan? Jika sudi
memberi tahu, Cayhe pasti sangat berterima kasih."
"Kudengar orang Sin-long-pang bicara tentang 'Bu-liang-giok-bik' segala. Permainan macam
apakah itu?" kata si gadis.
Co Cu-bok terkesiap mendengar itu, segera ia menjawab, "Bu-liang-giok-bik? Apakah
maksudnya ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Hal ini tidak
pernah kudengar. Apakah engkau pernah mendengarnya, Siang-jing Sumoay?"
Belum lagi Siang-jing menjawab, cepat si gadis memotong, "Sudah tentu ia pun tidak pernah
mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau bicara, terus terang saja
bilang tidak. Huh, siapa yang ingin tahu?"
Co Cu-bok serbarunyam, diam-diam ia mengakui kelihaian dara cilik itu. Segera ia berkata
pula, "Ah, ingatlah aku sekarang! Apa yang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah
Keng-bin-ciok (batu bermuka cermin) yang terdapat di puncak tertinggi dari Bu-liang-san ini.
Batu itu halus dan licin bagai kaca, maka orang mengatakannya sebagai batu mestika. Padahal
hanya sepotong batu biasa yang putih dan licin saja."
"Jika begitu, kenapa tadi tidak kau katakan terus terang?" ujar si gadis. "Lalu cara bagaimana
kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi Buliang-
kiam kalian hingga ayam dan anjing pun tak terkecuali?"
Sungguh konyol, pikir Co Cu-bok. Sebagai tuan rumah, masakah dia yang ditanyai seorang
gadis cilik bagai terdakwa di pengadilan saja. Tapi karena ingin tahu berita apa yang didengar
orang di tengah jalan, mau tak mau ia harus menjawab lebih dulu. Maka katanya, "Harap nona
turun dahulu, nanti kuterangkan dengan jelas."
"Menerangkan dengan jelas kukira tidak perlu," sahut si gadis sambil kedua kakinya membuai
ke depan dan ke belakang, "toh apa yang kau katakan meski ada yang benar, tapi juga banyak
yang dusta, paling-paling aku hanya percaya tiga bagian saja. Maka bolehlah kau bicara
sesukamu."
"Begini," tutur Co Cu-bok kewalahan, "tahun yang lalu, Sin-long-pang kutolak cari bahan
obat di belakang gunung kami ini, tapi diam-diam mereka datang mencuri dan dipergoki oleh
Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa anak muridku. Ketika ditegur, mereka menjawab,
'Di sini toh bukan istana raja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari,
memangnya Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian?' Karena percekcokan
mulut itu, akhirnya saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka.
Waktu itu tiada seorang pun yang tahu bahwa satu di antara korban itu adalah putra
tunggal Sikong-pangcu dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu tak dapat dihindarkan lagi.
Belakangan terjadi saling tempur pula di tepi sungai Lanjong dan kedua pihak jatuh korban
beberapa jiwa."
"O, kiranya begitu," ujar si gadis. "Daun obat apakah yang mereka petik?"
"Itulah kurang terang," sahut Cu-bok.
"Hm, apa benar kurang terang?" jengek si gadis. "Bukankah bahan obat yang hendak mereka
petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka mengatakan akan membabat habis rumput Tulah
di Bu-liang-san ini sampai akar-akarnya, sebatang pun takkan ditinggalkan."
"Kiranya nona lebih jelas daripadaku," kata Cu-bok.
Tiba-tiba gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata, "Marilah kita turun!"
Berbareng ia melompat ke bawah.
Keruan Toan Ki menjerit kaget, namun tubuhnya sudah terapung di udara. Syukurlah gadis itu
dapat membawanya ke tanah dengan enteng tanpa kurang apa pun sembari tetap memegangi
lengan kanannya. Kata gadis itu pula, "Marilah kita keluar sana, coba lihat berapa banyak
orang Sin-long-pang yang datang."
"Nanti dulu," cepat Co Cu-bok melangkah maju, "apa yang kutanya tadi, nona kan belum
menjawab?"
"Buat apa kuberi tahukan padamu? Pula aku kan tidak berjanji akan menjelaskan?" sahut si
gadis.
Cu-bok pikir memang benar orang tidak pernah berjanji akan menjawab pertanyaannya tadi.
Tapi mana boleh orang keluar-masuk sesukanya di rumahnya ini? Walaupun saat itu Buliang-
kiam sedang menghadapi musuh di depan rumah, namun dengan watak Co Cu-bok yang
tinggi hati itu, tidak rela rasanya dipermainkan seorang nona cilik tanpa bisa berbuat apa-apa.
Maka begitu mengadang di depan si gadis dan Toan Ki, katanya pula, "Kalian keluar begini
saja, kalau terjadi apa-apa, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak."
"Kenapa kau khawatir?" sahut si gadis dengan tersenyum. "Aku toh bukan tamu undanganmu,
kau pun tidak kenal she dan namaku yang mulia. Jika aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang,
ayah-bundaku juga takkan menyalahkan kalian."
Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.
"Berhenti dulu, nona!" cepat Cu-bok merintangi, tahu-tahu tangannya sudah menghunus
pedang.
"Eh, apa kau ingin berkelahi?" tanya si gadis.
"Cayhe ingin berkenalan dengan ilmu silat nona agar kelak dapat dipertanggungjawabkan
kalau berjumpa dengan ayah-ibumu," kata Cu-bok sambil melintangkan pedang.
"Wah, kakek jenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
tanya si gadis pada Toan Ki.
"Terserah padamu," sahut Toan Ki sembari mengipas.
"Apabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknya?"
"Ada rezeki kita rasakan bersama, ada malang kita tanggung berbareng. Kuaci kita makan
bersama, pedang kita terima serentak!"
"Bagus, ucapanmu ini sangat tegas," ujar si gadis. "Engkau sangat baik, tidak percuma
perkenalan kita ini. Marilah pergi!"
Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap senjata Co Cu-bok yang kemilauan itu seakan-akan
tak dihiraukannya.
Tanpa bicara lagi Cu-bok geraki pedang terus menusuk bahu kiri si gadis. Ia tidak bermaksud
melukai orang, tujuannya cuma untuk merintangi kepergian kedua muda-mudi itu.
Mendadak tangan si gadis menarik pinggang, tahu-tahu seutas tali hijau menyambar ke
pergelangan Co Cu-bok.
Dalam kagetnya cepat Cu-bok menarik kembali tangannya, tak terduga tali hijau itu adalah
benda hidup, datangnya juga cepat luar biasa, tangan Cu-bok terasa sakit kena digigit sekali
oleh Jing-leng-cu. "Trang", pedang jatuh ke lantai.
Habis menggigit musuh, cepat Jing-leng-cu merayap ke tanah, beberapa kali mengesot,
pedang yang jatuh itu telah dililitnya, terdengarlah suara "pletak" beberapa kali, pedang
panjang itu patah menjadi beberapa bagian.
Ternyata Jing-leng-cu itu adalah semacam ular aneh yang sangat lihai, kulitnya keras melebihi
baja, ditambah lagi dalam asuhan ayah-bunda si gadis dalam waktu panjang, maka berubahlah
semacam senjata hidup yang sangat hebat.
Kalau bicara tentang ilmu silat sejati, terang si gadis yang berusia kira-kira 16-17 tahun itu
bukan tandingan Co Cu-bok. Tapi "senjata hidup" si gadis terlalu aneh dan gesit, Co Cu-bok
diserang dalam keadaan tidak berjaga-jaga hingga pedangnya jatuh dan terlilit patah.
Biasanya Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai jiwa sendiri, kalau senjata itu
kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludeslah seluruh modal mereka. Meski
gebrakan tadi sangat di luar dugaan dan tak bisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan
kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak boleh ngotot
merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan erat, khawatir racun
ular menjalar ke dalam tubuh.
"Kalau ingin jiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkuk besar air rumput Tulah dan
diminum sekaligus, dalam waktu dua jam, harus merebah di ranjang, sedikit pun tidak boleh
bergerak," demikian kata si gadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan
Ki dengan perlahan, "Jing-leng-cu ini sebenarnya tak berbisa, tapi kakek jenggot itu pasti
ketakutan setengah mati. Ilmu silat si tua itu sangat tinggi, kalau dia mengejar, aku tak
mampu melawannya."
Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanya, "Aku tidak bisa ilmu silat, makanya dianiaya
orang!"
Sembari berkata, ia raba-raba pipi sendiri yang masih sakit pedas. Lalu menyambung pula,
"Apabila aku pun mempunyai Jing-leng-cu seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala
macam manusia jahat. Nona baik, bilakah kau mau menangkapkan seekor juga untukku?"
"Untuk menangkap seekor lagi cukup sulit," sahut si gadis. "Sayang ular ini bukan milikku,
kalau punyaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Encekku (paman),
kubawanya buat main-main, setelah pulang nanti harus kukembalikan padanya."
"Eh, she dan namamu yang mulia tak mau kau katakan kepada kakek jenggot, tentunya tidak
keberatan diperkenalkan padaku, bukan?" tanya Toan Ki.
"She dan nama yang mulia apa segala?" sahut si gadis dengan tertawa. "Aku she Ciong, ayahibuku
memanggil aku 'Ling-ji' (anak Ling). Marilah kita duduk di lereng bukit situ, katakan,
untuk apa kau datang ke Bu-liang-san sini?"
Kedua muda-mudi itu lalu menuju ke lereng bukit di sebelah barat-laut sana, sembari berjalan
Toan Ki sambil berkata, "Aku mengeluyur sendiri dari rumah dan terluntang-lantung ke
mana-mana. Ketika tiba di kota Bohni, aku kehabisan sangu, aku datang ke rumah orang yang
bernama Be Ngo-tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak ke Bu-liangsan
sini, karena iseng, aku lantas minta ikut kemari."
Ciong Ling manggut-manggut, tanyanya pula, "Sebab apa kau larikan diri dari rumah?"
"Ayah-ibu suruh aku belajar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas
minggat."
Dengan mata terbelalak heran, Ciong Ling mengamat-amati Toan Ki, katanya kemudian,
"Sebab apa engkau tidak mau belajar silat? Takut menderita?"
"Masa aku takut menderita?" sahut Toan Ki. "Telah kupikir pergi-datang dan tetap tidak
paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh ayah dan
disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tak salah, lantaran itu ibu
bertengkar juga dengan ayah ...."
"Ibumu tentu simpati pada pihakmu, bukan?" tanya Ciong Ling.
"Ya," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas, katanya, "Ibuku juga begitu terhadapku."
Ia termenung sejenak memandang ke arah barat, lalu tanya lagi, "Soal apa yang kau pikirkan
dan merasa tidak paham?"
"Sejak kecil aku sudah ditahbiskan ke dalam agama Buddha," tutur Toan Ki. "Ayah telah
mengundang seorang guru memberi pelajaran membaca Su-si-ngo-keng (empat buku dan
lima kitab) dan menggubah syair. Mengundang pula seorang paderi saleh mengajar agama
padaku. Selama belasan tahun yang kupelajari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar,
harus welas asih dan macam-macam lagi. Ketika tiba-tiba ayah suruh aku belajar silat, belajar
cara memukul dan membunuh orang, tentu saja aku merasa enggan. Ayah menuduh aku
membangkang perintah orang tua, Empek berdebat sehari semalam denganku, dan aku tetap
tidak tunduk."
"Lantas Empekmu marah-marah dan tinggal pergi, bukan?"
"Empekku tidak marah-marah dan tinggal pergi, tapi jarinya menutuk dua kali di badanku,
seketika badanku terasa seakan-akan digigit beratus ribu semut serta serupa beribu lintah lagi
mengisap darahku. Kata Empek, 'Enak tidak perasaan begini? Aku adalah pamanmu, sebentar
tentu akan lepaskan Hiat-to yang kututuk, tapi kalau musuh yang menutukmu, tentu kau akan
dibikin mati tidak hidup pun tidak. Dan kau boleh coba membunuh diri.' Sudah tentu aku tak
dapat bunuh diri, pula aku takkan bunuh diri, cukup hidup senang, buat apa bunuh diri?"
Semula Ciong Ling termangu-mangu mendengarkan, tiba-tiba ia berseru keras, "Hah,
Empekmu mahir ilmu Tiam-hiat? Bukankah ia menggunakan sebuah jari dan menutuk sesuatu
tempat di tubuhmu, dan engkau lantas tak bisa berkutik?"
"Benar, kenapa mesti heran?" ujar Toan Ki.
Kejut dan heran meliputi perasaan Ciong Ling, sahutnya, "Kau bilang kepandaian itu tidak
mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal mendapatkan ajaran sedikit ilmu Tiam-hiat,
biarkan kau suruh dia menjura seribu kali juga dia mau. Tapi kau sendiri justru tidak mau
belajar, ini sungguh aneh luar biasa."
"Kulihat ilmu Tiam-hiat itu pun tiada sesuatu yang hebat," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas, katanya, "Kata-katamu ini jangan lagi kau ucapkan, lebih-lebih
jangan sampai diketahui oleh orang lain."
"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.
"Kalau kau tidak mahir ilmu silat, tentu banyak urusan Kangouw yang belum kau ketahui,"
sahut si gadis. "Ilmu Tiam-hiat keluarga Toan kalian tiada bandingannya di kolong langit ini,
yaitu disebut 'It-yang-ci'. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu,
mungkin tak bisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminya. Apabila ada yang tahu ayah dan
pamanmu mahir ilmu itu, boleh jadi ada orang jahat akan menculik kau dan minta ayahmu
atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab pelajaran It-yang-ci itu. Jika terjadi demikian,
lantas bagaimana?"
"Jika benar terjadi, menurut watak pamanku yang keras itu, pasti dia akan melabrak si
penculik itu."
"Makanya," kata Ciong Ling, "berkelahi tanpa tujuan dengan keluarga Toan kalian tentu
orang tidak berani. Tetapi untuk kitab pelajaran It-yang-ci, segala apa mungkin terjadi.
Apalagi kalau kau jatuh di tangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka begini
saja baiknya, selanjutnya kau jangan mengaku she Toan."
"Aku tidak she Toan, lalu she apa?" ujar Toan Ki. "Padahal orang she Toan beratus ribu
banyaknya di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnya mahir ilmu Tiam-hiat."
"Sementara ini boleh kau pakai she sama dengan aku," ujar si gadis.
"Baik juga," sahut Toan Ki tertawa. "Dan engkau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?"
"Enam belas," sahut Ciong Ling. "Dan kau?"
"Aku lebih tua tiga tahun daripadamu," sahut Toan Ki.
Ciong Ling memungut sehelai daun kering, sambil merobek daun itu sedikit demi sedikit,
tiba-tiba ia goyang kepala.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya si pemuda.
"Aku tetap tak percaya bahwa engkau tidak mau belajar It-yang-ci," sahut Ciong Ling. "Kau
sengaja dusta, bukan?"
Toan Ki tertawa, katanya, "Kau pandang It-yang-ci sedemikian hebatnya, memangnya ilmu
itu bisa bikin perut menjadi kenyang? Aku justru anggap Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu
milikmu ini jauh lebih berguna."
"Kuharap mudah-mudahan aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian
keluargamu itu." ujar si gadis. "Cuma sayang, engkau tak bisa It-yang-ci, sebaliknya ular-ular
ini pun bukan punyaku."
"Gadis sekecil dirimu ini, kenapa yang kau pikir melulu urusan berkelahi dan membunuh
orang saja?"
"Kau benar-benar tidak tahu atau sengaja berlagak dungu?"
"Apa maksudmu?" tanya Toan Ki bingung.
"Lihatlah itu!" kata si gadis sambil menunjuk ke arah timur.
Menurut arah yang ditunjuk, Toan Ki melihat di pinggang gunung arah timur itu mengepul
belasan gumpal asap hijau, ia tidak paham apa maksud si gadis.
"Coba, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain justru akan
menghajar dan membunuhmu," kata Ciong Ling pula, "lalu apa kau rela dibinasakan orang?
Asap hijau itu adalah tanda orang Sin-long-pang lagi menggodok racun untuk melayani Buliang-
kiam nanti. Kuharap semoga diam-diam kita dapat mengeluyur pergi dari sini agar tidak
ikut tersangkut."
Toan Ki kebas-kebas kipasnya dan merasa kurang tepat ucapan si gadis, katanya, "Cara
perkelahian orang Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam
telah membunuh putra Sikong-pangcu dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui juga
sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Jin-kiat yang menempeleng aku
itu. Balas-membalas, seharusnya sudah selesai. Seumpama masih ada sesuatu yang tidak adil,
seharusnya melapor pada pembesar negeri dan minta diberi keputusan secara bijaksana, mana
boleh bertindak dan menjadi hakim sendiri sesukanya? Memangnya negeri Tayli kita ini
dianggap sudah tidak punya undang-undang lagi?"
"Ck, ck, ck!" mulut Ciong Ling berkecek-kecek, "mendengar ucapanmu ini seakan-akan kau
ini tuan besar atau bangsawan yang berkuasa. Bagi rakyat jelata kita justru tidak urus segala
tetek bengek itu."
Ia menengadah, lalu tuding ke arah barat-daya dan berkata pula, "Sebentar kalau hari sudah
gelap diam-diam kita mengeluyur pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki
kita."
"Tidak!" seru Toan Ki mendadak. "Aku harus menemui Pangcu mereka untuk memberi
petuah dan ceramah padanya, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang."
Ciong Ling merasa kasihan pada pemuda yang polos ketolol-tololan itu, katanya, "Toan-heng,
engkau ini benar-benar tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit. Pangcu dari Sin-longpang
itu, Sikong Hian, orangnya kejam dan ganas, suka main racun, berbeda daripada orang
Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita jangan cari perkara, lekas pergi dari sini saja."
"Tidak, urusan ini aku harus ikut campur, jika kau takut, bolehlah kau tunggu aku di sini,"
sembari berkata, terus saja Toan Ki melangkah ke arah timur.
Ciong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak jauhnya, mendadak
ia memelesat maju mengejar, ia jambret pundak Toan Ki, menyusul kaki menjegal, pemuda
itu disengkelit ke depan.
Waktu tiba-tiba mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak
menoleh, tahu-tahu pundak dicengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuh terus
terjerungup terbanting ke depan. Keruan hidungnya mencium tanah dan bocor, keluar
kecapnya.
Dengan meringis Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang yang
menghajarnya itu adalah Ciong Ling, ia menjadi gusar, katanya, "Kenapa kau begini nakal,
apa tidak sakit orang kau banting?"
"Aku hanya ingin mencoba lagi apakah engkau hanya pura-pura atau sungguh-sungguh tak
mahir ilmu silat," sahut Ciong Ling. "Maksudku adalah demi kebaikanmu."
Ketika Toan Ki mengusap hidungnya, tangannya lantas berlepotan darah, bahkan darah terus
menetes hingga dadanya merah dan kuyup. Sebenarnya lukanya sangat enteng, tapi melihat
sekian banyak darah mengalir, terus saja ia berkaok-kaok, "Aduh, aduuuh!"
Ciong Ling menjadi rada khawatir, cepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah
orang. Tapi Toan Ki kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata, "Tidak perlu
kau ambil hatiku, aku tak mau gubris padamu lagi."
Karena tak mahir ilmu silat, maka cara mendorong Toan Ki hanya sekenanya saja, siapa tahu
justru menyentuh dada si gadis. Keruan Ciong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinya
ia pegang tangan si pemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaya judo, kembali Toan
Ki terbanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika jatuh semaput.
Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Ciong Ling membentaknya, "Ayo lekas
bangun, aku ingin bicara padamu!"
Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berjongkok dan memeriksa,
ia lihat kedua mata anak muda itu mendelik, napasnya lemah, orangnya sudah kelengar.
Lekas-lekas ia memijat Jin-tiong-hiat bagian atas bibir serta mengurut dada si pemuda.
Selang agak lama, perlahan barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinya bersandar di tempat
yang empuk, hidungnya mengendus bau wangi pula, ia membuka mata dan melihat sepasang
mata-bola Ciong Ling yang jeli bening itu lagi memandangnya dengan rasa khawatir.
Melihat Toan Ki sudah siuman, Ciong Ling menghela napas lega, "Ah, syukurlah engkau
tidak mati."
Melihat dirinya bersandar di pangkuan si gadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguncang, tapi
segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia berkaok-kaok sakit.
Ciong Ling terkejut oleh kelakuan Toan Ki itu, "Kenapa?" tanyanya.
"Aku ... aku kesakitan!" sahut Toan Ki.
"Hanya sakit, kan tidak mati, kenapa berkaok-kaok?"
"Jika mati, masakah bisa berkaok-kaok?"
Ciong Ling mengikik tawa, ia merasa salah tanya. Ia coba angkat kepala Toan Ki, ternyata di
bagian belakang benjol sebesar telur ayam, cuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnya
tentu tidak kepalang. Maka katanya setengah mengomel, "Habis, siapa suruh kau berlaku
rendah. Apabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanya terbanting saja,
masih murah bagimu."
Toan Ki bangun duduk, tanyanya dengan heran, "Aku berbuat ren ... rendah bagaimana?
Kapan terjadi? Inilah fitnah belaka!"
Dasar perasaan gadis remaja seperti Ciong Ling yang baru mulai bersemi, terhadap urusan
laki-perempuan baru taraf paham tak-paham, ia menjadi jengah oleh sangkalan Toan Ki itu,
katanya dengan wajah merah, "Tak dapat kukatakan, pendek kata kau yang salah, siapa suruh
kau mendorong ... mendorong sini."
Baru sekarang Toan Ki paham duduknya perkara, ia merasa kikuk, ingin dia jelaskan, tapi
sukar mengucapkannya.
Maka Ciong Ling berkata lagi, "Syukur akhirnya kau siuman, bikin aku khawatir saja."
"Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali
tempelengan lebih banyak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop,
siapa pun tidak utang. Agaknya memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari
malapetaka ini."
"Demikian ucapanmu, jadi kau gusar padaku?" tanya si gadis.
"Memangnya orang sudah dipukul harus memuji dan berterima kasih pula padamu?" sahut
Toan Ki.
"Ya, sudahlah, selanjutnya aku takkan pukul kau lagi," kata Ciong Ling dengan menyesal
sambil memegang tangan si pemuda. "Sekarang kau tidak marah lagi, bukan?"
"Tidak, kecuali kalau aku pun balas memukulmu dua kali," ujar Toan Ki.
Ciong Ling tidak lantas menjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi tampak
pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah, cepat ia tegakkan leher dan berkata,
"Baiklah, boleh kau pukul aku dua kali. Tapi ... tapi jangan keras-keras, ya!"
"Tidak bisa," kata Toan Ki. "Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka
pukulanku sudah pasti sangat keras. Jika kau tidak tahan, lebih baik jangan."
Ciong Ling menghela napas, ia pejamkan mata dan berkata lirih, "Baiklah! Tapi ... tapi
sesudah memukul, engkau jangan marah lagi!"
Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum juga terasa
memukulnya. Waktu membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanya
dengan wajah tertawa bukan-tertawa padanya. Ia menjadi heran, tanyanya, "He, kenapa kau
tidak memukul?"
Tiba-tiba Toan Ki menyelentik perlahan dua kali di pipi Ciong Ling, katanya, "Hanya dua kali
selentikan saja dan impas."
Ciong Ling tertawa manis, serunya, "Memang aku sudah tahu engkau orang baik"
Untuk sekian lamanya Toan Ki kesengsem menghadapi gadis jelita yang hanya belasan senti
di depannya itu, makin dipandang makin cantik, bau harum gadis sayup-sayup menyusup
hidungnya, berat nian untuk meninggalkannya pergi. Akhirnya ia berkata, "Sudahlah,
sekarang sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mencari Sikong Hian dari Sinlong-
pang itu."
BAB 2 .....
"Jangan bodoh!" cepat Ciong Ling mencegah. "Urusan orang Kangouw sedikit pun engkau
tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolongmu."
"Jangan khawatir bagiku" sahut Toan Ki. "Kau tunggu saja di sini, sebentar aku akan
kembali."
Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak ke arah asap tebal sana.
Ciong Ling berteriak mencegahnya lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut.
Setelah tertegun sejenak, mendadak gadis itu berseru, "Baiklah, engkau pernah menyatakan
'kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak', biar kuikut bersamamu!"
Segera ia berlari menyusul Toan Ki dan berjalan berjajar dengan dia.
Tidak lama, dari depan tertampak memapak dua orang lelaki berbaju kuning. Seorang di
antaranya yang lebih tua lantas membentak, "Siapa kalian? Mau apa datang ke sini?"
Dari jauh Toan Ki dapat melihat kedua orang itu sama memanggul sebuah kantong obat dan
membawa golok lebar-pendek, segera sahutnya, "Cayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting
mohon bertemu dengan Sikong-pangcu kalian."
"Urusan apa?" tanya lelaki tua tadi.
"Setelah bertemu dengan Pangcu kalian, dengan sendirinya akan kututurkan," kata Toan Ki.
"Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu?" tanya pula lelaki tua itu.
"Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran." sahut Toan Ki. "Guruku bernama Bing
Sut-seng, beliau khusus mempelajari Koh-bun-siang-si, dalam hal ilmu Kong-yang, dia juga
mahir."
Kiranya guru yang dia maksudkan adalah guru yang mengajarkan dia membaca dan menulis.
Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah "Koh-bun-siang-si" (sastra kuno dan kitab baru)
dan "Kong Yang" (cerita tentang kambing jantan) disangkanya dua macam ilmu silat yang
sakti. Apalagi melihat Toan Ki mengipas-kipas dengan sikap dingin, seakan-akan seorang
yang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah
mendengar ada seorang jago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang menegaskan mahir
dalam macam-macam ilmu, tentunya bukan membual belaka. Cepat ia berkata, "Jika
demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, akan kulaporkan Pangcu."
Habis itu, buru-buru ia tinggal pergi ke balik lereng gunung sana.
"Kau bohongi dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing jantan dan kambing betina)
segala, ilmu macam apakah itu?" tanya Ciong Ling. "Sebentar jika Sikong Hian hendak
mengujimu, mungkin sukar bagimu menjawabnya."
"Seluruh isi Kong-yang-toan (kitab cerita tentang kambing jantan) sudah kubaca hingga hafal,
kalau Sikong Hian mengujiku, tidak nanti aku kewalahan," sahut Toan Ki.
Ciong Ling terbelalak bingung oleh jawaban yang tak keruan juntrungannya. Sudah tentu ia
tidak tahu bahwa Kong-yang-toan itu adalah nama kitab sastra karya Kong-yang Ko di zaman
Chun-chiu.
Sementara itu tertampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka masam, katanya pada
Toan Ki, "Tadi kau sembarangan mengoceh apa, sekarang Pangcu memanggilmu."
Melihat gelagatnya, agaknya dia telah didamprat oleh sang Pangcu, Sikong Hian.
Toan Ki mengangguk dan ikut di belakang orang.
"Mari kutunjukkan jalan," kata lelaki tua itu sembari menarik tangan Toan Ki. Setelah
berjalan beberapa tindak, perlahan ia kerahkan tenaga di tangan.
Keruan Toan Ki kesakitan, sambil merintih tertahan ia berkaok, "Aduh! Perlahan sedikit!"
Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kencang hingga mirip tanggam kuatnya. Saking
tak tahan, akhirnya Toan Ki menjerit kesakitan.
Kiranya ketika lelaki itu menyampaikan tentang "Koh-bun-siang-si" dan "Kong-yang-toan"
yang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamprat sang Pangcu. Karena mendongkol, ia sengaja
hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Di luar dugaan, baru sedikit meremas, pemuda itu sudah
gembar-gembor kesakitan.
Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang jari orang, tapi mendadak pergelangan
tangan sendiri terasa "nyes" dingin seperti dibelit oleh sesuatu. "Krek", tahu-tahu tulang
pergelangan tangannya patah.
Saking sakitnya, lelaki tua itu cepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak tampak sesuatu
benda apa pun. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam-diam Ciong Ling yang telah membantu
Toan Ki dengan melepaskan Jing-leng-cu untuk mematahkan tulang tangannya, sebaliknya ia
menyangka dari tangan Toan Ki yang telah timbul semacam tenaga getaran lihai. Dalam
dongkolnya, timbul juga rasa jerinya, ia pikir Lwekang orang ini sedemikian hebatnya, kalau
dirinya tidak kenal gelagat, boleh jadi akan lebih celaka lagi nanti.
Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin menetes dari jidatnya sebesar
kedelai, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikit pun tidak merintih sakit, tetap bertindak
dengan langkah lebar seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
"Engkau ini sungguh orang kasar," Toan Ki mengomel, "orang berjabatan tangan kan tidak
perlu menggunakan tenaga sebesar itu, kukira engkau tidak bermaksud baik."
Lelaki itu tidak menggubrisnya, ia percepat langkahnya dan membelok ke balik lereng sana.
Waktu Ciong Ling memandang, ia lihat di tengah gundukan batu padas sana berduduk lebih
20 orang. Ia sadar telah masuk ke sarang harimau, maka ia pun cepat menyusul rapat di
belakang Toan Ki.
Setelah dekat, Toan Ki melihat di tengah gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus
kecil di atas batu padas yang paling tinggi, berjenggot macam kambing tua, sikapnya sangat
angkuh. Pantas lelaki tadi didamprat ketika melaporkan ucapan Toan Ki tentang "cerita si
kambing jantan" segala, sebab ternyata kakek kurus kecil itu berjenggot ala kambing.
Toan Ki tahu pasti kakek inilah Pangcu Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Sikong-pangcu, terimalah hormatku, Toan Ki."
Sikong Hian hanya sedikit membungkukkan badan, tapi tidak berbangkit, tanyanya, "Ada
urusan apa saudara datang ke sini?"
"Kabarnya kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam," tutur Toan Ki. "Cayhe sendiri hari
ini telah menyaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam secara mengenaskan, karena tidak
tega, maka sengaja datang kemari untuk memberi jasa baik. Hendaklah diketahui bahwa
permusuhan lebih baik dilenyapkan daripada diperpanjang. Apalagi bunuh-membunuh dan
berkelahi juga melanggar undang-undang negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti
sama-sama tidak enak. Maka sudilah Sikong-pangcu membatalkan maksud kurang baik ini
sebelum terlambat dan lekas-lekas pergi dari sini, jangan mencari perkara lagi kepada Buliang-
kiam."
Dengan sikap dingin dan tak acuh Sikong Hian mendengarkan cerita Toan Ki itu tanpa
komentar, ia hanya meliriknya. Maka Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan ini timbul dari maksud baikku, harap
Pangcu suka pikirkan dengan baik."
Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, mendadak ia terbahak-bahak,
katanya, "Siapakah kau bocah ini berani bergurau dengan tuanmu? Siapa yang suruh kau ke
sini?"
"Siapa yang suruh aku ke sini?" Toan Ki menegas. "Sudah tentu aku sendiri!"
"Hm," jengek Sikong Hian mendongkol. "Selama berpuluh tahun aku berkelana di Kangouw
dan belum pernah kulihat seorang bocah bernyali sebesar kau ini hingga berani main gila
padaku. A Toh, tangkap kedua bocah ini."
Segera seorang laki-laki tegap mengiakan dan melompat maju hendak mencengkeram lengan
Toan Ki.
"Eeh, jangan!" seru Ciong Ling cepat. "Sikong-pangcu. Toan-siangkong ini menasihati
engkau dengan maksud baik, jika tidak mau menurut boleh terserah, kenapa main kekerasan?"
Lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Toan-heng, jika Sin-long-pang tidak mau
mendengar nasihatmu, kita juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Marilah pergi!"
Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah memegangi kedua tangan Toan Ki terus ditelikung ke
belakang sambil menunggu perintah sang Pangcu lebih jauh. Keruan Toan Ki meringis
kesakitan.
Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin, "Hm, Sin-long-pang justru tidak suka orang
lain ikut campur urusannya, kalian berdua bocah ini anak siapa, masa boleh pergi datang
sesukamu, ha? Pasti di balik layar ada sesuatu yang mencurigakan. A Hong, tawan sekalian
anak perempuan itu!"
Kembali seorang laki-laki kekar lain mengiakan terus hendak menangkap Ciong Ling.
Namun sedikit mengegos mundur, Ciong Ling berkata pula, "Sikong-pangcu, jangan kira aku
takut padamu. Soalnya ayahku melarang aku bikin onar di luaran, maka aku tidak suka cari
perkara. Lekas suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, jangan kau paksa aku turun tangan,
akibatnya pasti tidak enak."
"Hahaha, anak perempuan omong besar," Sikong Hian terbahak-bahak. "A Hong, lekas
kerjakan!"
Kembali lelaki bernama A Hong mengiakan terus mencengkeram lengan Ciong Ling. Di luar
dugaan, sekonyong-konyong telapak tangan kiri si gadis memotong ke kuduk A Hong. Cepat
A Hong menunduk, namun celakalah dia, tahu-tahu kepalan kanan Ciong Ling secepat kilat
menggenjot dari bawah ke atas, "plok", janggutnya tepat kena dipukul, tanpa ampun lagi
tubuh A Hong segede kerbau itu mencelat dan jatuh terjengkang serta tak bisa berkutik.
"Ehm, tampaknya anak perempuan ini boleh juga," ujar Sikong Hian tawar, "tapi kalau
hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanya belum cukup memadai."
Segera ia mengedipi seorang tua kurus tinggi di sampingnya.
Orang tua itu tinggi lencir mirip galah bambu, tanpa suara tahu-tahu ia sudah berada di depan
Ciong Ling.
Lucu juga tampaknya kedua seteru itu, yang satu teramat tinggi, yang lain pendek, selisih
kedua orang hampir setengah badan.
Segera kakek itu ulur kesepuluh jarinya yang mirip cakar burung terus mencengkeram pundak
Ciong Ling.
Melihat serangan lawan cukup lihai, cepat Ciong Ling berkelit ke samping, jari kakek itu
menyambar lewat di samping pipinya hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diamdiam
gadis itu terperanjat, serunya cepat, "Sikong-pangcu, lekas kau perintahkan orangmu
berhenti. Bila tidak, jangan salahkan aku turun tangan keji, kelak kalau aku diomeli ayah-ibu,
kau pun tidak terlepas dari tanggung jawab."
Sedang Ciong Ling berkata, sementara itu si kakek jangkung beruntun sudah menyerang tiga
kali lagi, tapi selalu dapat dihindarkan si gadis pada saat berbahaya.
"Tangkap dia!" bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Ciong Ling.
Segera si kakek jangkung menyerang pula, tangan kanan pura-pura menghantam, tahu-tahu
tangan kiri mencengkeram lengan Ciong Ling.
Gadis itu menjerit kaget, saking kesakitan hingga wajahnya pucat. Namun mendadak si gadis
ayun tangan kiri ke depan, tiba-tiba selarik sinar emas menyambar, kakek jangkung itu hanya
mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Ciong Ling dan jatuh duduk di tanah.
Kiranya Kim-leng-cu secepat kilat telah menggigit sekali punggung tangan lawan, lalu
melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Lekas seorang laki-laki setengah umur berjubah panjang di samping Sikong Hian
membangunkan si kakek jangkung, ia merasa sekujur badan sang kawan itu menggigil hebat,
punggung tangan tampak bersemu hitam dan menjalar ke bagian tubuh yang lain dengan
cepat.
Kembali Ciong Ling bersuit, Kim-leng-cu melejit ke muka lelaki yang menawan Toan Ki.
Cepat orang itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-cu, terus saja
dipagutnya tangan itu.
Ilmu silat lelaki itu jauh di bawah si kakek jangkung, keruan ia lebih-lebih tak tahan, seketika
ia meringkal di lantai bagai cacing sambil merintih-rintih.
Segera Ciong Ling menarik Toan Ki dan diajak pergi, bisiknya, "Kita sudah bikin onar, lekas
lari!"
Orang-orang yang berada di sekitar Sikong Hian itu adalah gembong-gembong Sin-long-pang
semua, selama hidup mereka berusaha mencari obat dan menjual jamu, maka segala macam
ular atau lebah berbisa pernah dilihatnya, tapi Kim-leng-cu yang bisa melayang pergi datang
secepat kilat dan berbisa jahat itu, tiada seorang pun di antara mereka yang kenal jenis ular
apakah itu.
Dalam kagetnya, tanpa merasa Sikong Hian berseru, "He, apakah 'Uh-hiat-su-leng'? Lekas
tangkap bocah perempuan itu, jangan sampai lolos!"
Segera empat lelaki di sampingnya melompat maju dan mengepung dari beberapa penjuru.
Namun sekali bersuit, Ciong Ling sudah lolos Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu,
sekali sabet, ia tahan dua musuh yang menubruk maju. Berbareng Kim-leng-cu telah
dilepaskan hingga berturut-turut keempat lelaki itu kena dipagutnya. Cukup sekali gigit saja,
setiap orang itu lantas terkapar, ada yang berkelejetan, ada pula yang meringkal bagai cacing.
Melihat ular kecil itu terlalu lihai, namun jago-jago Sin-long-pang itu tiada yang berani
mundur di hadapan sang Pangcu, kembali 7-8 orang memburu maju pula sambil membentakbentak.
"Jika ingin selamat, hendaklah jangan maju," seru Ciong Ling. "Siapa pun yang kena tergigit
Kim-leng-cu ini, tiada obat penolongnya."
Jago-jago Sin-long-pang itu bersenjata semua, ada yang membawa golok, ada yang memakai
cangkul pendek dan lain-lain, mereka berharap dengan senjata itu dapat menahan serangan
ular emas lawan.
Namun ular kecil itu teramat gesit, lebih cepat daripada segala macam senjata rahasia, setiap
kali asal senjata lawan menyerang, cukup sekali tolak ekornya di atas senjata lawan, tahu-tahu
ia sudah melejit ke depan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekejap saja, kembali
beberapa orang roboh terjungkal pula.
Sikong Hian tak dapat tinggal diam lagi, ia gulung lengan baju dan cepat mengeluarkan
sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok-gosok telapak tangan dan lengannya, lalu
melompat ke depan Ciong Ling dan Toan Ki sambil membentak, "Berhenti!"
Sekonyong-konyong Kim-leng-cu melejit lagi dari tangan Ciong Ling hendak menggigit
batang hidung Sikong Hian. Cepat Pangcu Sin-long-pang itu angkat tangannya ke atas dengan
rada mengirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular ciptaan sendiri itu manjur tidak
untuk menghadapi ular emas yang gesit dan lihai luar biasa itu, jika tidak manjur, bukan saja
nama baiknya selama ini akan hanyut, bahkan Sin-long-pang sejak itu pun akan ludes.
Untung baginya, baru saja Kim-leng-cu pentang mulut hendak pagut tangannya, mendadak
binatang itu menikung di atas udara, ekornya menutul telapak tangan Sikong Hian, terus
melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Girang Sikong Hian tak terkira, terus saja tangan kirinya memukul, saking hebat angin
pukulannya itu, pula tak sempat berkelit, Ciong Ling tergetar sempoyongan, hampir saja
terjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menyambar ke belakang hingga Toan Ki
ikut tergetar dan roboh terjengkang.
Ciong Ling terkejut, berulang-ulang ia bersuit mendesak Kim-leng-cu menyerang musuh.
Kembali ular emas itu memelesat ke depan, namun obat yang terpoles di tangan Sikong Hian
itu justru adalah obat jitu anti Kim-leng-cu, binatang itu tidak berani sembarangan memagut
lagi, jika hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, segera Sikong Hian mainkan
kedua telapak tangannya sedemikian cepatnya hingga air pun tak bisa tembus.
Segera Ciong Ling putar Jing-leng-cu mengeroyoknya dari samping. Karena tidak tahu Jingleng-
cu itu tak berbisa, Sikong Hian menjadi waswas, ia menjaga diri dengan rapat sambil
membentak-bentak memberi perintah kepada begundalnya.
Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang mengepung maju, setiap orang
membawa segebung rumput obat yang dinyalakan, asap rumput itu mengepul tebal sekali.
Baru saja Toan Ki merangkak bangun dari jatuhnya tadi, begitu mencium bau asap rumput
itu, seketika ia roboh dan pingsan pula. Lamat-lamat ia lihat Ciong Ling juga mulai
sempoyongan menyusul gadis itu pun terjungkal.
Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk maju hendak meringkus Ciong Ling, tapi Kimleng-
cu dan Jing-leng-cu teramat setia membela sang majikan, segera dipagutnya pula kedua
orang itu. Kontan yang satu meringkal keracunan bagai ebi dan yang lain tulang kaki patah
kena dibelit oleh Jing-leng-cu yang keras bagai kawat baja itu.
Seketika itu jago-jago Sin-long-pang menjadi jeri, beramai-ramai mereka merubung kedua
muda-mudi yang menggeletak di tanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Cepat Sikong Hian berseru, "Bakar kunyit di sebelah timur, di sebelah selatan dibakar Sia-hio
(semacam bibit wangi dari musang), semua orang menyingkir dari barat-laut!"
Segera anak buahnya mengikuti perintah itu, biasanya segala macam bekal obat-obatan selalu
tersedia dalam Sin-long-pang, obat yang dibakar itu baunya sangat keras, begitu dibakar,
seketika menyiarkan asap tebal yang berbau menusuk hidung dan tertiup ke arah Ciong Ling.
Tak terduga, meski di bawah embusan asap yang merupakan obat anti mereka, namun Kimleng-
cu dan Jing-leng-cu masih tetap lincah dan gesit, dalam sekejap saja lagi-lagi beberapa
orang Sin-long-pang digigit roboh lagi.
Sikong Hian berkerut kening, cepat ia mendapat akal, serunya, "Lekas gali tanah dan uruk
anak perempuan ini hidup-hidup bersama ular-ularnya."
Gegaman sebangsa cangkul dan sebagainya selalu tersedia di tangan anak buah Sin-longpang,
cepat saja mereka menggali tanah dan diuruk ke atas tubuh Ciong Ling.
Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenyap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari
segala peristiwa itu berpangkal atas dirinya, kalau Ciong Ling mengalami nasib mati dikubur
hidup-hidup, rasanya dirinya juga tak bisa hidup sendiri. Maka sekuatnya ia melompat ke atas
tubuh si gadis dan merangkulnya sambil berseru, "Bagaimanapun biarlah kita gugur
bersama!"
Menyusul ia merasa batu pasir beterbangan menjatuhi badannya.
Mendengar kata-kata "bagaimanapun biarlah kita gugur bersama" itu, hati Sikong Hian ikut
tergerak, ia lihat di sekitarnya menggeletak lebih 20 anak buahnya, beberapa di antaranya
bahkan adalah tokoh penting, termasuk pula dua orang Sutenya, jika anak perempuan ini
dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun racun ular emas itu terlalu lihai, tanpa
obat penawar si gadis, tentu sukar menolong jiwa orang-orangnya itu. Maka cepat katanya,
"Biarkan jiwa kedua bocah itu tetap hidup, jangan uruk bagian kepala mereka!"
Ciong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badan tertindih Toan Ki dan makin lama
makin berat, keduanya sama-sama tak bisa berkutik. Maka dalam sekejap saja, badan kedua
muda-mudi itu bersama Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu sudah terpendam di bawah tanah,
hanya kepala mereka yang menongol keluar.
"Anak perempuan, coba katakan sekarang, ingin mati atau hidup?" tanya Sikong Hian dengan
nada dingin.
"Sudah tentu ingin hidup," sahut Ciong Ling. "Jika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanya
juga takkan bisa hidup."
"Baik," ujar Sikong Hian, "lekas serahkan obat penawar racun ular, lantas kuampuni jiwamu."
"Tidak, hanya jiwaku saja tidak cukup, harus jiwa kami berdua," kata Ciong Ling.
"Baiklah boleh kuampuni jiwa kalian berdua," sahut Sikong Hian. "Nah, mana obat
penawarnya?"
"Aku tidak membawa obat penawar," kata si gadis. "Racun Kim-leng-cu ini hanya ayahku
saja yang bisa mengobatinya. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan kau paksakan aku
turun tangan, sebab ayah pasti akan marah padaku dan bagimu juga tiada gunanya."
"Bocah cilik, dalam keadaan begini masih berani membual!" sahut Sikong Hian bengis,
"kalau kakek kadung murka, bisa kutinggalkan kau di sini hingga mati kelaparan."
"Eh, apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, kenapa engkau tidak percaya," kata Ciong
Ling. "Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runyam, mungkin ayah tak dapat dibohongi,
lantas bagaimana baiknya?"
"Siapa nama ayahmu?" tanya Sikong Hian.
"Usiamu sudah tua, kenapa engkau tidak kenal aturan?" sahut si gadis. "Nama ayahku mana
boleh sembarangan kukatakan padamu?"
Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang melintang di dunia
Kangouw, tapi menghadapi dua bocah seperti Ciong Ling dan Toan Ki, ia benar-benar tak
berdaya. Dengan gemas ia berkata pula, "Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak
perempuan ini, coba lihat dia mau mengaku atau tidak."
Segera anak buahnya mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Ciong Ling
dengan memegang obor itu.
Keruan Ciong Ling ketakutan melihat wajah orang yang bengis itu, ia berteriak-teriak, "Hei,
jangan! Memangnya tidak sakit rambut dibakar? Kenapa tidak coba kau bakar jenggotmu
sendiri saja?"
"Sudah tentu kutahu sakit, buat apa kubakar jenggot sendiri?" sahut Sikong Hian dengan
tertawa ejek. Terus saja ia angkat obor dan diabat-abitkan di depan hidung Ciong Ling,
keruan gadis itu menjerit takut.
Cepat Toan Ki memeluk tubuh si gadis lebih kencang sambil berseru, "He, jenggot kambing,
urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku saja boleh kau bakar!"
"Jangan, kau pun akan merasa sakit!" ujar Ciong Ling.
"Jika kau takut sakit, lekas keluarkan obat penawarnya untuk menolong saudara kami itu,"
desak Sikong Hian.
"Engkau ini orang tua, tapi bodoh melebihi kerbau," sahut Ciong Ling. "Sejak tadi sudah
kukatakan bahwa hanya ayahku yang bisa menyembuhkan keracunan Kim-leng-cu, bahkan
ibuku pun tidak bisa. Memangnya kau sangka mudah mengobatinya?"
Mendengar sekitarnya berisik dengan suara merintih orang yang digigit Kim-leng-cu tadi,
Sikong Hian menduga pasti racun ular ini sangat menyakitkan, bila tidak, anak buahnya yang
tergolong laki-laki gagah itu, biasanya biarpun sebelah kaki atau tangan dikutungi orang juga
tidak sudi merengek sedikit pun. Tapi kini meski sudah minum obat penawar racun ular
buatan sendiri, namun toh masih merintih tidak tahan, terang obat ular yang biasanya sangat
mujarab itu pun tidak berguna, dalam putus asanya, Sikong Hian terus memelototi Ciong Ling
sambil membentak, "Siapa bapakmu, lekas katakan namanya!"
"Apa benar engkau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnya?" tanya si gadis.
Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia jajarkan istilah "Uh-hiat-su-leng" dengan nama
seorang, pikirnya, "Apa mungkin 'Uh-hiat-su-leng' ini adalah piaraan orang ini? Jika orang ini
belum mati, dan selama ini dia hanya mengasingkan diri, hanya pura-pura mati saja, lalu aku
mengungkat namanya, kelak dia pasti akan bikin repot padaku."
Sekilas Ciong Ling melihat wajah Sikong Hian menampilkan rasa jeri, ia sangat senang,
segera katanya pula, "Makanya lekas kau lepaskan kami, supaya ayahku tidak bikin susah
padamu."
Secepat kilat benak Sikong Hian timbul beberapa pikiran, "Bila kulepaskan dia, dan ayahnya
benar adalah orang yang kuduga, setelah nona ini ditanya, pasti dia akan tahu aku telah dapat
meraba rahasianya, lalu jiwaku pasti takkan dibiarkan hidup oleh orang itu? Tentu dia akan
membunuh diriku untuk menutupi rahasianya. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini,
para saudara yang menderita ini pun susah dipertahankan jiwanya. Hm, sekali sudah berbuat,
kepalang bila tidak kuteruskan sampai titik terakhir!"
Setelah ambil keputusan, diam-diam tangan kirinya terus mengerahkan tenaga dan
menghantam kepala Ciong Ling.
Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Ciong Ling tahu gelagat jelek, ketika melihat
pula tangan orang memukul, cepat ia berteriak, "Hai, tahan, jangan pukul dulu!"
Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulan tetap diteruskan, tapi baru saja hampir
menyentuh kepala si gadis, sekonyong-konyong bagian kuduk terasa sakit seperti digigit
sesuatu, karena itu, walaupun pukulannya itu tetap mengenai kepala Ciong Ling, namun
tenaga sudah lenyap di tengah jalan hingga mirip mengusap rambut si gadis saja.
Kejut Sikong Hian tak terkira, cepat ia tarik napas panjang untuk melindungi jantungnya,
tangan lain melepaskan obor terus berputar ke belakang leher untuk menangkap tapi celaka,
lagi-lagi punggung tangan terasa digigit.
Kiranya sesudah Kim-leng-cu terpendam dalam tanah, diam-diam ia telah menyusup keluar,
dan pada saat Sikong Hian tidak menduga-duga mendadak binatang itu menyerang. Keruan
Sikong Hian sangat cemas dan khawatir, cepat ia duduk bersila di tanah dan mengerahkan
tenaga dalam untuk mengusir racun.
Segera anak buahnya menyekop tanah dan menguruk lagi ke atas Kim-leng-cu, namun
binatang itu sempat melejit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar
emas gemerlap beberapa kali, tahu-tahu dia sudah lari ke dalam semak-semak rumput.
Lekas anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangcu, setelah luar-dalam
memakai obat, mulut sang Pangcu dijejal pula sebatang Jin-som untuk memperkuat
tenaganya. Berbareng Sikong Hian pun mengerahkan Lwekang untuk melawan racun ular,
tapi tiada seberapa lama, ia lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos
sebatang golok pendek terus menebas lengan kanan sendiri hingga kutung. Namun
tengkuknya yang juga digigit ular itu kan tak mungkin kepala mesti ikut dipenggal juga.
Melihat keadaan sang Pangcu yang luar biasa itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas
mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah mengucur bagai
sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterjang buyar oleh air darah. Cepat seorang anak
buah sobek lengan baju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangcu, dengan demikian
lambat laun darah dapat dihentikan.
Melihat itu, muka Ciong Ling pun pucat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.
"Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-cu dari Uh-hiat-su-leng?" tiba-tiba Sikong Hian
tanya dengan suara geram.
"Ya," sahut Ciong Ling.
"Kalau kena digigit, setelah linu pegal tujuh hari baru korban akan mati, betul tidak?" tanya
Sikong Hian pula.
Kembali si gadis mengiakan.
"Seret anak muda itu," perintah Sikong Hian pada anak buahnya.
Beramai-ramai anggota Sin-long-pang terus menyeret Toan Ki dari bawah gundukan tanah.
"He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, jangan bikin susah padanya!" cepat
Ciong Ling berteriak sambil meronta-ronta hendak melompat bangun.
Namun anak buah Sin-long-pang itu cepat menguruk pasir batu pula ke tempat yang luang
bekas Toan Ki tadi hingga Ciong Ling tak bisa berkutik. Saking khawatir mengira Toan Ki
akan dibunuh, gadis itu menangis tergerung-gerung.
Sebenarnya Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, katanya dengan
tersenyum, "Nona Ciong, seorang jantan sejati pandang kematian bagai pulang ke rumah, kita
tidak boleh takut di hadapan kawanan orang jahat ini."
"Aku bukan jantan sejati, maka aku tidak mau pandang kematian seperti pulang ke rumah,"
sahut Ciong Ling.
Mendadak Sikong Hian memberi perintah, "Beri minum bocah ini dengan Toan-jiong-san,
pakai takaran untuk tujuh hari lamanya."
Segera anak buahnya mengeluarkan sebotol obat bubuk merah dan mencekoki Toan Ki
dengan paksa.
Keruan Ciong Ling khawatir setengah mati, ia berteriak-teriak, "He, he, itu racun, jangan mau
minum!"
Ketika mendengar nama "Toan-jiong-san" atau obat bubuk perantas usus, segera Toan Ki tahu
racun itu sangat lihai, tapi dirinya sudah jatuh di bawah cengkeraman orang, tidak minum
terang tidak mungkin, maka dengan ikhlas ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnya sengaja
berkecek-kecek, lalu katanya dengan tertawa, "Ehm, manis juga rasanya. Eh, Sikong-pangcu,
apakah kau pun akan minum barang setengah botol?"
Sikong Hian menjengek gusar tanpa menjawab, sebaliknya Ciong Ling yang sedang menangis
itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.
"Toan-jiong-san ini baru akan bekerja sesudah tujuh hari nanti hingga usus dan perutnya akan
hancur," kata Sikong Hian kemudian. "Maka selama tujuh hari ini hendaknya lekas kau pergi
mengambilkan obat penawar racun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti aku
pun memberi obat penawar racun padamu."
"Sulit," sahut Ciong Ling. "Racun Kim-leng-cu itu hanya bisa dipunahkan dengan Lwekang
khas ayahku sendiri, selamanya tidak ada obat penawar."
"Jika begitu, suruh ayahmu datang ke sini untuk menolongmu," kata Sikong Hian.
"Enak saja kau bicara," sahut si gadis, "tak mungkin ayahku sembarangan keluar rumah.
Sudah pasti dia takkan keluar selangkah pun dari lembah gunung kami."
Sikong Hian dapat memercayai apa yang dikatakan Ciong Ling itu, seketika ia menjadi raguragu.
"Paling baik begini saja," tiba-tiba Toan Ki mengusul, "kita beramai-ramai pergi ke rumah
nona Ciong dan mohon orang tuanya menyembuhkan racun ular, cara demikian bukankah
lebih cepat dan tepat."
"Tidak, tidak boleh jadi!" kata Ciong Ling. "Ayahku pernah menyatakan, tak peduli siapa pun
juga, asal menginjak setindak ke dalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan."
Sementara itu luka gigitan ular di belakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal,
dengan gusar ia berteriak, "Aku tak peduli tetek bengek itu, kalau kau tidak mengundang
ayahmu kemari, biarlah kita gugur bersama."
Ciong Ling pikir sejenak, lalu katanya, "Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis sepucuk surat
kepada ayah untuk memohon kedatangannya. Tapi harus kau suruh seorang yang tidak takut
mati untuk menyampaikan surat pada beliau."
"Bukankah bocah she Toan ini bisa kusuruh ke sana, buat apa suruh orang lain?" kata Sikong
Hian gemas.
"Ai, engkau benar-benar pelupa." ujar si gadis. "Bukankah sudah kukatakan, barang siapa
berani menginjak selangkah saja ke lembah kami dia akan binasa. Dan aku tidak ingin Toanheng
ini mati, tahu tidak?"
"Jika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati?" sahut Sikong Hian. "Sudah, sudah,
tak perlu pergi, biarlah kita lihat saja, aku mati kemudian atau dia mampus duluan."
Kembali Ciong Ling menangis tergerung-gerung lagi, serunya, "Kau kakek jenggot kambing
ini sungguh tidak tahu malu, hanya pandai menghina seorang nona cilik! Perbuatanmu ini
apakah terhitung seorang kesatria sejati kalau diketahui orang Kangouw?"
Namun Sikong Hian tidak menggubrisnya, ia mengerahkan Lwekang sendiri untuk melawan
bisa ular.
"Biarlah aku berangkat saja", kata Toan Ki tiba-tiba. "Nona Ciong, jika ayahmu tahu
kedatanganku ke sana adalah untuk memohon dia datang ke sini menolongmu, kuyakin beliau
pasti takkan mengapa-apakan diriku."
Tiba-tiba Ciong Ling mengunjuk girang, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Begini, jangan
kau katakan pada ayahku di mana aku berada. Tapi setelah kau bawa beliau ke sini, segera
kau melarikan diri, kalau tidak, tentu celaka!"
"Ehm, bagus juga akalmu ini," ujar Toan Ki sambil manggut-manggut.
Lalu Ciong Ling berkata pula pada Sikong Hian, "He, jenggot kambing, begitu kembali nanti
Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu cara bagaimana engkau akan memberi obat
penawar racun padanya?"
Sikong Hian menunjuk sepotong batu besar jauh di barat-laut sana dan berkata, "Aku akan
suruh orang menunggu di sana dengan obat penawar, begitu Toan-kongcu ini lari sampai di
sana bisa segera mendapatkan obatnya."
Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ayah Ciong Ling untuk menolong jiwanya, maka
panggilannya kepada Toan Ki sekarang berubah menjadi terhormat.
Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnya menggali keluar Ciong Ling, tapi
sebagai gantinya kedua tangan si gadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Jing-leng-cu
masih kelogat-keloget di dalam tanah, sedang ular kecil lainnya sudah mati terpendam.
"Kau belenggu kedua tanganku, cara bagaimana aku bisa menulis surat?" kata Ciong Ling
kemudian.
"Kau dara cilik ini terlalu licin, kau bilang hendak menulis surat, jangan-jangan akan main
gila lagi," ujar Sikong Hian. "Tak perlu pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu
kepada Toan-kongcu sebagai tanda pengenal untuk ayahmu."
"Kebetulan," sahut Ciong Ling tertawa. "Aku memang tidak suka tulis-menulis. Lalu benda
apakah yang berada padaku? Ah, biarlah Jing-leng-cu saja kau bawa kepada ayahku, Toanheng."
"He, jang ... jangan," seru Toan Ki cepat. "Dia takkan turut perintahku, kalau di tengah jalan
aku digigitnya, kan celaka!"
"Jangan khawatir." ujar Ciong Ling tersenyum. "Dalam saku bajuku ada sebuah kotak kemala
kecil, harap kau keluarkannya."
Segera Toan Ki masukkan tangan ke saku si nona, tapi baru tangan menyentuh baju, cepat ia
tarik kembali tangannya. Ia merasa perbuatannya kurang sopan, masa tangan seorang pemuda
gerayangan di dalam baju seorang gadis.
Namun Ciong Ling tidak pikir sampai di situ, desaknya malah, "Ayo, kenapa tidak lekas
mengambil? Di saku sebelah kiri!"
Toan Ki pikir urusan sudah telanjur runyam, keadaan sangat mendesak, nona cilik ini pun
masih kekanak-kanakan, sedikit pun tiada rasa perbedaan antara lelaki perempuan, maka aku
pun tidak perlu pikir yang tidak-tidak.
Segera ia merogoh saku si gadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar yang keras dan
hangat-hangat.
"Di dalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu," kata Ciong
Ling. "Jika Jing-leng-cu tidak menurut perintah, boleh kau ayun-ayun kotak kemala itu di atas
kepalanya, dengan sendirinya dia tak berani main gila lagi."
Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala di depan kepala Jing-leng-cu, maka terdengarlah
suara mendesis aneh beberapa kali di dalam kotak itu, seketika Jing-leng-cu sangat ketakutan
hingga mengkeret badannya.
Senang sekali Toan Ki melihat itu, "Benda apakah di dalam kotak ini? Biar kumelihatnya!"
Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.
Namun Ciong Ling keburu mencegah, "He, jangan! Tutup kotak sekali-kali tak boleh
dibuka!"
"Sebab apa?" tanya Toan Ki.
Ciong Ling melirik sekejap ke arah Sikong Hian, lalu berkata, "Ini rahasia, tidak boleh
didengar orang luar. Nanti kalau sudah kembali akan kuberi tahukan padamu."
"Baiklah," kata Toan Ki, sebelah tangan memegang kotak kemala, tangan lain melepaskan
Jing-leng-cu dari pinggang Ciong Ling dan diikat di pinggang sendiri.
Ternyata Jing-leng-cu membiarkan dirinya diperbuat sesukanya oleh Toan Ki, sedikit pun
tidak berani membangkang. Keruan pemuda itu sangat senang, katanya, "Hah, ular ini
menarik juga!"
"Bila dia lapar, dia akan mencari makan sendiri, tak perlu khawatir baginya," kata Ciong Ling
pula, "dan bila kau bersuit begini, dia akan menggigit orang, kalau kau mendesis begini, dia
lantas kembali ke tanganmu."
Sembari berkata, ia bersuit memberi contoh.
Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan ajaran si gadis.
Sebaliknya Sikong Hian tidak sabar, ia pikir anak muda ini benar-benar kurang ajar, sudah
dekat ajal, masih main ular segala, segera ia membentak, "Lekas pergi dan cepat kembali!
Jiwa semua orang tinggal beberapa hari saja, jika ada alangan dalam perjalanan tentu jiwa
masing-masing akan melayang. Nona Ciong, dari sini ke tempat tinggalmu makan waktu
berapa lama?"
"Kalau cepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah cukup," sahut Ciong
Ling.
Sikong Hian rada lega oleh jawaban itu, ia mendesak pula, "Baiklah, lekas berangkat, lekas!"
"Tapi belum kuberi tahu jalannya kepada Toan-heng, harap kalian menyingkir dari sini, siapa
pun dilarang mendengarkan," kata si gadis.
Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnya sama menyingkir pergi.
"Kau pun menyingkir," kata Ciong Ling pada Sikong Hian.
Diam-diam Sikong Hian geregetan, katanya dalam hati, "Kurang ajar! Kelak bila lukaku
sudah sembuh, kalau tidak kubalas permainkan kau, percumalah aku menjadi manusia."
Segera ia berbangkit dan menyingkir pergi juga.
"Toan-heng," kata Ciong Ling kemudian sambil menghela napas lega, "baru saja kita
berkenalan, kini sudah harus berpisah."
"Tidak apa, paling lama pergi-pulang cuma empat hari," sahut Toan Ki tertawa.
Sepasang mata bola Ciong Ling termangu memandangi anak muda itu, katanya, "Setiba di
sana, harap menemui ibuku lebih dulu untuk menceritakan duduk perkaranya dan biar ibuku
yang bicara kepada ayahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan."
Lalu ia gunakan ujung kaki untuk menggores-gores tanah, untuk menjelaskan jalan ke rumah
tinggalnya itu.
Kiranya tempat tinggal Ciong Ling itu terletak di sebuah lembah di tepi barat sungai Lanjong.
Meski jaraknya tidak jauh, tapi tempatnya tersembunyi dan sukar ditempuh, kalau tidak diberi
petunjuk, orang luar tak nanti menemukannya.
Namun daya ingat Toan Ki sangat baik, apa yang ditunjukkan Ciong Ling biarpun menikung
ke sana dan membelok ke sini secara membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat.
Setelah Ciong Ling selesai menguraikan, segera katanya, "Baiklah, sekarang aku akan
berangkat!"
Terus saja ia putar tubuh dan bertindak pergi.
Tapi baru pemuda itu berjalan belasan tindak, tiba-tiba Ciong Ling teringat sesuatu, serunya,
"Hei, kembali!"
"Ada apa?" tanya Toan Ki sambil memutar balik.
"Paling baik engkau jangan mengaku she Toan, lebih-lebih jangan bilang ayahmu mahir
menggunakan It-yang-ci," pesan si gadis. "Sebab ... sebab mungkin sekali akan menimbulkan
prasangka ayahku."
"Baiklah," sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannya
ternyata amat teliti. Segera ia bertindak pergi sembari bernyanyi-nyanyi kecil.
Tatkala itu hari sudah gelap, sang dewi malam sudah menongol di tengah cakrawala, di
bawah cahaya bulan Toan Ki terus menuju ke barat. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi usianya
muda, tenaganya kuat, jalannya cukup cepat.
Setelah belasan li jauhnya, ia sudah melintas sampai di belakang gunung Bu-liang-san. Ia
dengar suara gemerciknya air, di depan ada sebuah sungai kecil, karena merasa haus, Toan Ki
menuju ke tepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia gunakan tangan untuk
meraup air. Tapi belum lagi mulutnya mengecup air, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa
dingin di belakang.
Dalam kejutnya cepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnya senjata tajam,
ujung pedang sudah mengancam di dadanya. Waktu mendongak, ia lihat seorang tersenyum
mengejek, kiranya Kam Jin-ho dari Bu-liang-kiam.
"Eh, kiranya kau, bikin kaget aku saja," kata Toan Ki berlagak tertawa. "Sudah malam begini,
ada apa Kam-heng berada di sini?"
"Atas perintah guruku, aku justru lagi menunggumu di sini," sahut Kam Jin-ho. "Maka silakan
Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bicara sebentar."
"Urusan apakah? Harap tunda sampai lain hari saja," ujar Toan Ki. "Hari ini aku ada urusan
penting dan perlu lekas berangkat."
"Tidak, betapa pun harap Toan-heng ke sana," kata Jin-ho. "Bila tidak, aku pasti akan
didamprat oleh guruku."
Melihat wajah orang mengunjuk tanda kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lamat-lamat ia
dapat menebak apa maksud orang, pikirnya, "Celaka, mungkin dia sengaja hendak menahan
aku agar penolong yang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang Sin-long-pang
akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak khawatir lagi terhadap musuh utama itu."
Segera ia tanya pula, "Dari mana Kam-heng mengetahui aku akan datang ke sini?"
"Hm," jengek Jin-ho. "Perembukanmu dengan nona Ciong terhadap Sin-long-pang sudah
kudengar dan lihat semuanya. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa-apa denganmu,
engkau pasti takkan dibikin susah. Yang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ke
tempat kami, kemudian engkau akan dibebaskan."
"Mampir beberapa hari?" Toan Ki menegas. "Kan bisa celaka, padahal aku telah minum
Toan-jiong-san pihak Sin-long-pang, kalau racunnya bekerja lantas bagaimana?"
"Boleh jadi setelah minum sedikit obat urus-urus, perutmu takkan sakit lagi," kata Kam Jin-ho
tertawa.
Diam-diam Toan Ki khawatir, seketika ia pun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut
pergi ke Kiam-oh-kiong, mungkin dirinya akan menjadi korban, bahkan Ciong Ling, Sikong
Hian dan lain-lain juga akan binasa.
Dalam pada itu ujung pedang Kam Jin-ho sudah mengancam di dada Toan Ki hingga terasa
sakit.
"Ayo, ikut! Mau atau tidak mau harus ikut ke sana!" kata murid Bu-liang-kiam itu.
"Dengan demikian, bukankah kalian sengaja hendak membunuh aku?" kata Toan Ki.
"Jika sudah berani berkelana di Kangouw, jiwa harus berani dibuat taruhan," ujar Jin-ho
tertawa. "Orang penakut macammu ini sungguh terlalu."
Habis berkata, "sret", mendadak pedang terus mengiris ke bawah hingga baju Toan Ki terobek
sepanjang puluhan senti.
Kam Jin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun baju Toan Ki
terobek disayat, namun badan sedikit pun tidak terluka. Maka tertampaklah perut Toan Ki
yang putih itu, cepat pemuda itu memegangi bajunya yang kedodoran.
"Eh, putih juga, seperti perempuan," goda Jin-ho dengan tertawa. Mendadak ia berubah
bengis, bentaknya, "Ayo, lekas jalan, jangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa
kusayat mukamu hingga berpuluh jalur merah!"
Terpaksa, Toan Ki menurut, ia pikir nanti di tengah jalan harus mencari akal untuk
meloloskan diri.
Segera ia betulkan bajunya, lalu katanya, "Jika sebelumnya kutahu Bu-liang-kiam kalian
begini jahat, tentu aku tidak sudi ikut campur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diracun
mampus oleh Sin-long-pang."
"Kau mengomel apa?" bentak Jin-ho. "Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-hohan (kesatria
dan gagah) semua, masakan jeri terhadap kawanan Sin-long-pang yang tak kenal malu itu."
"Sret", kembali pedangnya menggores baju di punggung Toan Ki, ketika sampai pinggang,
terdengar suara "krek", goresan pedang itu teralang sesuatu.
Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa di pinggangnya terlilit Jing-leng-cu, ia merasa
dirinya terlalu goblok, kenapa sejak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia bersuit
menirukan Ciong Ling.
Begitu kepala Jing-leng-cu menegak, terus saja ia memagut ke muka Kam Jin-ho. Keruan
jago Bu-liang-kiam itu kaget, cepat ia menyurut mundur. Sekali pagut tidak kena, Jing-lengcu
membalik ke bawah hendak melilit lengan Jin-ho.
Betapa lihainya ular hijau ini sudah dikenal Jin-ho, bahkan pedang gurunya pernah dililit
patah. Maka cepat ia melompat berkelit pula.
Untung baginya, sebab Toan Ki belum pandai mengendalikan Jing-leng-cu, ia tidak
melepaskan binatang itu dari pinggangnya, tapi terus bersuit memerintah untuk menyerang
musuh, maka sebagian besar badan Jing-leng-cu masih melilit di pinggang, sebab itulah
serangannya terbatas hingga dua kali memagut dapat dihindarkan Kam Jin-ho.
Melihat Kam Jin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, cepat ia angkat
langkah seribu, ia berlari-lari ke arah barat.
"Hai, berhenti!" bentak Jin-ho sambil menguber. "Aku membawa obat anti ular, ular hijau itu
tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos!"
Walaupun begitu katanya, namun ia pun tidak berani mendesak terlalu dekat.
Dasar Toan Ki, belum sampai satu li jauhnya, napasnya sudah megap-megap.
Sebaliknya Kam Jin-ho sangat cekatan larinya, ia mendapatkan sepotong tangkai kayu pula
dan digunakan memukul punggung Toan Ki.
Dalam gugupnya tiba-tiba timbul juga kecerdasan Toan Ki, cepat ia lepaskan Jing-leng-cu
dari pinggang sambil bersuit, sekuatnya ia ayun ular itu ke belakang. Dengan demikian Kam
Jin-ho menjadi jeri dan tertinggal lebih jauh.
Pikir jago Bu-liang-kiam itu, "Kau anak sekolahan ini sedikit pun tak bisa ilmu silat, asal aku
terus mengintil di belakangmu, tiada sejam, tentu kau akan mati lelah."
Maka uber-menguber itu terus berlangsung menuju ke arah barat.
Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar-benar terasa hampir putus, jantung memukul
keras seakan-akan meledak. Pikirnya, "Jika aku tertawan dia, jiwa nona Ciong pasti akan ikut
menjadi korban."
Karena gugupnya ia tak bisa pilih jalan lagi, yang ia tuju selalu rimba lebat hutan belukar, ke
sanalah dia menyusup terus.
Setelah menguber sebentar pula, mendadak Jin-ho dengar suara gemerujuknya air yang
gemuruh. Tergerak pikirannya, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat
sebuah air terjun raksasa dengan airnya yang dituang ke bawah bagai sungai gantung.
Cepat Jin-ho berhenti sambil berteriak, "Hei, di depan adalah tempat larangan golongan kami,
jika kau berani maju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur!"
Bukannya Toan Ki berhenti, sebaliknya ia sangat girang dan berlari ke depan malah, pikirnya,
Jika di sana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengejar
pula. Jiwaku memang lagi terancam, takut apa?"
"Hai, lekas berhenti!" kembali Jin-ho berteriak. "Apa kau tidak pikirkan nyawamu lagi?"
"Aku justru ingin nyawaku, maka aku lari ...." baru sekian jawaban Toan Ki, sekonyongkonyong
kakinya terasa menginjak tempat kosong. Ia tidak mahir ilmu silat, pula sedang
berlari, tentu saja ia tidak bisa menahan diri, langsung tubuhnya anjlok ke bawah.
"Haya!" teriak Toan Ki kaget, namun badannya sudah terjerumus ke bawah jurang yang
berpuluh tombak dalamnya.
Waktu Jin-ho memburu sampai di tepi jurang, yang terlihat hanya kabut tebal, apa yang
terjadi di bawah jurang sedikit pun tidak terlihat. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting
hancur lebur, sedangkan tempat di mana dia berdiri adalah tempat terlarang golongan sendiri,
maka ia tidak berani lama-lama di situ, cepat ia putar balik melaporkan kepada sang guru.
Sementara itu tubuh Toan Ki yang terapung di udara itu, kedua tangannya meraup ke sanasini
dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan daya turunnya.
Kebetulan juga mendadak Jing-leng-cu yang masih dipegang olehnya itu dapat melilit pada
suatu dahan pohon Siong yang tumbuh di dinding tebing. Beberapa kali badan ular itu
membelit dengan kencang dan kuat di atas dahan itu.
Ketika mendadak Toan Ki merasa daya turunnya berhenti, hampir saja ia tidak kuat
memegang Jing-leng-cu dan hampir pula terberosot ke bawah. Untung Jing-leng-cu cukup
cerdik, cepat ekornya melilit beberapa kali di pergelangan tangan Toan Ki. Maka menjeritlah
mendadak anak muda itu kesakitan.
Kiranya daya turunnya tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Jing-leng-cu secara
mendadak, seketika lengan kanannya keseleo alias terkilir.
Badan Jing-leng-cu ternyata sangat keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan
Ki yang bobotnya ratusan kati itu sambil membuai-buai, namun masih bisa bertahan dengan
baik.
Waktu Toan Ki memandang ke bawah, ia lihat awan terapung mengambang di udara jurang,
betapa dalamnya jurang itu tidak terlihat. Untuk mendaki ke atas, terang tidak mungkin,
apalagi tangannya keseleo, tenaga habis.
Pada saat itulah, badannya yang terayun terasa menempel dinding tebing, cepat ia ulur tangan
kiri untuk meraih pangkal dahan, segera kakinya mendapatkan tempat berpijak pula, baru
sekarang ia merasa lega dan tenang.
Ketika jurang itu diamat-amati, ia lihat di tengah jurang merekah sebuah celah panjang, di
tengah celah itu banyak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau, mungkin juga bisa dibuat
jalan merambat turun ke bawah dengan perlahan.
Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serbarunyam kalau tinggal di situ, kalau tidak bisa
naik ke atas, terpaksa turun ke bawah jurang untuk mencari jalan keluar lain.
Meski dia hanya seorang sekolahan, namun mempunyai semangat banteng. Ia pikir jiwanya
toh sisa temuan, kalau akhirnya mesti melayang lagi, biarlah. Mati ya mati, seorang laki-laki
kenapa takut mati?
Segera ia bersuit pula, lalu mendesis-desis sebagai tanda kembalinya Jing-leng-cu.
Mendengar suara suitan, Jing-leng-cu lantas melepas belitannya di atas dahan dan kembali ke
tangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikat pula pada dahan tempat berpijak, kemudian
sambil memegangi badan ular, ia merosot ke bawah.
Setelah dekat ujung ekor ular, kakinya memperoleh tempat berpijak lagi, lalu menarik
kembali Jing-leng-cu untuk dipakai tali memberosot ke bawah pula dan begitu seterusnya.
Untung bagian bawah jurang itu tidak terlalu curam, akhirnya ia tidak perlu bantuan Jingleng-
cu sudah dapat turun ke bawah.
Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia menjadi khawatir lagi, "Jika di
bawah sana ada arus air yang dahsyat, celakalah aku."
Ia merasa butiran air sudah berhamburan dan menciprat mukanya, begitu besar butiran air itu
hingga menimbulkan rasa sakit pedas.
Akhirnya sampailah dia di dasar jurang. Waktu memandang ke depan, tanpa tertahan Toan Ki
bersorak memuji. Ternyata di tebing kiri sana ada sebuah air terjun raksasa yang menuangkan
airnya yang jernih ke sebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi
sebelah sana.
Walaupun dituangi air terjun sekeras itu, namun air danau itu tidak menjadi penuh, tentu ada
saluran yang membuang air itu ke tempat lain.
Tempat air terjun menggerujuk itu airnya bergulung-gulung, tapi belasan tombak di luar air
terjun itu, air danau tenang bening bagai kaca.
Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam yang menakjubkan itu. Karena itu ia sampai lupa
pada sakit lengannya yang keseleo itu.
Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan baju dan berkata pada
ruas tulang yang keseleo itu, "Wahai, ruas tulang, jika kudapat membetulkanmu, tentu takkan
sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan juga masa bodoh."
Ia kertak gigi dan menarik sekuatnya lengan yang terkilir itu. "Krek", eh, tulang yang keseleo
itu dapat diluruskan kembali, walaupun rasa sakitnya tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat
bergerak dengan bebas lagi.
Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat
banteng, ia penuh gairah. Ia meraba Jing-leng-cu dan berkata, "Wahai, Jing-leng-cu, hari ini
kalau kau tidak menyelamatkan jiwaku, tentu sejak tadi tuanmu ini sudah naik ke surga. Maka
kelak pasti akan kusuruh tuan putrimu memiaramu terlebih baik."
Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnya segar dan rada-rada
manis pula.
Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir, "Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus
lekas mencari jalan keluar, jangan-jangan Kam Jin-ho itu sebentar akan menyusul ke sini, kan
bisa celaka."
Segera ia menyusur tepi danau untuk mencari jalan.
Danau itu ternyata berbentuk lonjong, sebagian besar teraling-aling oleh semak-semak
tetumbuhan. Toan Ki mengitar kira-kira tiga li jauhnya, ia lihat tebing curam di sekeliling
sana terlebih terjal, hanya tebing yang dia turun tadi lebih mendingan, suasana sunyi senyap,
jangankan jejak manusia, jejak binatang pun tidak tampak, hanya kicau burung terkadang
terdengar.
Karena itu, Toan Ki sedih lagi, ia pikir tak jadi soal dirinya mati kelaparan di situ, tapi jiwa
nona Ciong bagaimana jadinya? Ia duduk di tepi danau dengan rasa cemas dan gelisah, sedikit
pun tak berdaya.
Kemudian ia pikir, "Boleh jadi jalanku terlalu buru-buru hingga tidak memerhatikan kalau
ada sesuatu jalan kecil yang teraling semak-semak atau tertutup batu-batu gunung?"
Karena itu ia bangkit pula, dengan riang sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menyusuri tepi
danau lagi untuk mencari jalan keluar.
Kali ini ia telah periksa setiap semak pohon di tepi danau, namun di balik semak-semak itu
adalah batu karang melulu yang menempel di dinding jurang yang menjulang tinggi ke langit.
Jangankan jalan keluar, bahkan liang ular atau lubang jangkrik pun tidak tampak sesuatu.
Makin lama makin perlahan nyanyi Toan Ki, perasaannya semakin lama semakin tertekan.
Ketika berputar kembali sampai di depan air terjun tadi, kakinya sudah lemas, ia mendomprok
ke tanah.
Dalam putus asa, timbul khayalannya, "Bila aku bisa menjadi seekor ikan, aku akan menyusur
air terjun itu dan berenang ke atas jurang sana."
Sambil berpikir sinar matanya terus mengikuti jalannya air terjun itu dari bawah ke atas. Ia
lihat di sebelah kanan air terjun itu mencuat sepotong batu putih gilap bagai kemala. Melihat
gelagatnya, boleh jadi air terjun itu pada masa dahulu jauh lebih besar lagi daripada sekarang
ini, Entah sudah mengalami gerujukan berapa lama hingga dinding batu itu tergosok rata licin
bagai kaca. Kemudian air terjun berubah kecil dan dinding batu sehalus kaca itu pun
kelihatan.
Tiba-tiba Toan Ki ingat kata-kata Sin Siang-jing sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia
telah menyindir ketua sekte timur Bu-liang-kiam, Co Cu-bok, menanyakan selama lima tahun
itu apakah sudah banyak meyakinkan pelajaran dinding kemala. Karena itu, Co Cu-bok rada
gusar dan menegur sang Sumoay apakah sudah lupa pada pantangan perguruan sendiri,
akhirnya Siang-jing bungkam.
Teringat pula olehnya sebabnya Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang adalah
karena Sin-long-pang minta mencari obat ke belakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liangsan
ini penuh dengan hutan belukar, kalau cuma mencari sedikit bahan obat saja apa
alangannya?
Dasar otak Toan Ki sangat cerdas, mendadak timbul rasa curiganya. Segera ia menyelami
setiap pembicaraan yang pernah didengarnya setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka
teringatlah ketika Ciong Ling bertanya tentang "Bu-liang-giok-bik" apa segala pada Co Cubok,
seketika ketua Bu-liang-kiam itu tercengang dan pura-pura tidak tahu, sebaliknya Ciong
Ling terus menyindir atas sikap orang itu.
Tampaknya apa yang dimaksudkan "Giok-bik" itu adalah dinding gunung kemala dan bukan
"Giok-bik" dari batu kemala. Sekarang di hadapannya terdapat suatu dinding gunung yang
putih gilap bagai kemala, pula terletak di belakang gunung Bu-liang-san, terang dinding
tebing gunung ini banyak hubungannya dengan apa yang terjadi hari ini.
Menyusul teringat pula ketika dirinya terjerumus ke dalam jurang tadi, berulang-ulang Kam
Jin-ho membentaknya agar berhenti, katanya tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam yang
terlarang didatangi siapa pun juga.
Maka pikirnya pula, "Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanya sebab
apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan yang
menang berhak menghuni Kiam-oh-kiong selama lima tahun? Namun jago tua she Be itu
hanya garuk-garuk kepala dan menyatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang
luar tidak mengetahuinya."
Ia coba menganalisis apa yang telah dilihat dan didengarnya itu, ia menduga di atas Giok-bik
itu tentu terukir semacam rahasia pelajaran ilmu pedang yang ditetapkan oleh leluhur Buliang-
kiam, bahwa sekte mana yang menang dalam pertandingan boleh tinggal di situ untuk
mempelajari ilmu pedang itu selama lima tahun.
Berpikir sampai di sini, ia bertambah yakin akan rekaannya itu.
Sejak kecil Toan Ki sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha, ia benci terhadap ilmu
silat. Ia minggat dari rumah juga disebabkan tidak mau belajar silat. Tapi setelah beruntunruntun
dianiaya, dihina dan diracun orang, yang berbuat itu semuanya adalah orang persilatan
pula, maka bencinya terhadap ilmu silat makin mendalam.
Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnya dengan ilmu silat, segera ia
melengos tidak sudi memandangnya lagi. Pikirnya, "Sebabnya orang suka berkelahi dan
bunuh-membunuh di dunia ini, semuanya gara-gara ilmu silat masing-masing. Apabila di atas
dinding kemala itu terukir ilmu silat yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit, itu
berarti akan membawa bencana lebih hebat bagi manusia, akibatnya tentu jauh lebih celaka
daripada Kim-leng-cu, Toan-jiong-san dan sebagainya."
Ia pikir sambil berjalan terus, namun akhirnya rasa ingin tahunya lebih kuat daripada segala
pikiran lain, ia pikir pula, "Rahasia ilmu silat yang tertera di atas dinding kemala itu pasti
sangat susah diyakinkan, bila tidak, rasanya Co Cu-bok dan saudara-saudara seperguruannya
tidak perlu bersusah payah mempelajarinya selama lima tahun dan ternyata tidak banyak
hasilnya. Aku justru ingin tahu macam apakah ilmu silat yang aneh itu?"
Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti kaca, dari mana bisa terukir
sesuatu rahasia ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia coba mengincar dari samping dan
mengamati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu yang menarik, pikirnya pula, "Apa
yang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh-sungguh. Boleh jadi leluhur Bu-liang-kiam
sengaja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat berlatih. Atau mungkin juga
dugaanku yang salah?"
Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan
diri dan tertidur. Ketika mendusin esok paginya, perutnya semakin keroncongan, tapi di
tengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah-buahan pun tidak tampak.
Sampai tengah hari, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekadar tangsel
perut. Walaupun pahit getir rasanya bunga itu, terpaksa ia telan mentah-mentah.
Setelah beberapa jam lagi, sang surya sudah doyong ke barat, ia lihat di angkasa danau timbul
selarik bianglala yang indah permai. Ia tahu di mana ada air terjun, pantulan sinar matahari
sering menimbulkan bayangan bianglala yang berwarna-warni. Menghadapi pemandangan
permai itu, ia merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur di lembah gunung itu. Setelah
termenung-menung agak lama, akhirnya ia rebah dan terpulas lagi.
Tidurnya itu nyenyak benar, ketika mendusin, waktunya sudah tengah malam. Ia lihat sang
dewi malam sedang memancarkan cahaya yang tenang lembut. Ketika mendongak
memandang ke dinding batu sana, ia lihat di dinding itu jelas terlukis dua benda.
Toan Ki terkesiap, ia kucek-kucek mata dan memandangnya lebih jelas, kiranya kedua benda
itu hanya bayangan saja. Yang satu berbentuk melengkung mirip pelangi yang dilihatnya
siang tadi, yang lain adalah bayangan sebatang pedang.
Bayangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, tangkainya, ujungnya, semuanya
mirip benar.
Setelah pikir sejenak, Toan Ki menarik kesimpulan di depan dinding batu itu pasti ada
sebatang pedang, karena sinar bulan yang menyorot miring itu, maka bayangan pedang
tercetak di atas dinding itu.
Ia lihat ujung bayangan pedang itu menunjuk ke pucuk bayangan benda melengkung itu.
Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bayangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis
yang menutupi sang dewi malam itu tertiup buyar oleh angin hingga bayangan hitam itu
tampak lebih jelas lagi. Dari bayangan hitam benda melengkung itu ternyata timbul jalur
aneka warna persis seperti warna-warni bianglala.
Toan Ki semakin heran, pikirnya, "Kenapa di tengah bayangan bisa timbul warna-warni?"
Ketika pandangannya beralih ke arah yang berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat di
dinding tebing curam sana lamat-lamat ada sinar berwarna yang bergoyang-goyang.
Seketika ia menjadi sadar, kiranya di dinding situ ada terjepit sebatang pedang, di samping itu
ada sepotong batu mestika yang mengeluarkan cahaya pelangi.
Batu permata memangnya mempunyai tujuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan
pantulan warna-warni itu ke dinding batu sana. Pantas begitu indah menarik. Cuma sayang,
tempat di mana terdapat benda-benda mestika itu berpuluh tombak tingginya, betapa pun
sukar dicapai untuk dilihat dari dekat.
Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga
bayangan itu mulai menipis dan akhirnya lenyap tinggal dinding batu yang tetap halus licin
itu.
Tanpa sengaja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, "Kiranya rahasia di atas
dinding kemala Bu-liang-san ini beginilah adanya. Kalau tidak kebetulan tergelincir ke sini,
belum tentu aku bisa melihat bayangan tadi, sedangkan sinar bulan yang menyorot ke atas
dinding itu, dalam setahun hanya ada kesempatan beberapa hari saja. Sebaliknya orang-orang
Bu-liang-kiam yang sengaja hendak mencari rahasia itu, kebanyakan pasti datang pada waktu
siang hari untuk mengamati dinding batu itu secara bodoh, bisa jadi mereka malah menggali
dan membongkar batu pegunungan di atas sana untuk mencari rahasia yang tidak pernah
diketemukan itu. Sudah tentu hasilnya tetap nihil."
Berpikir sampai di sini, ia tertawa geli sendiri, "Hihi, seumpama aku memperoleh pedang
serta benda mestika yang mengeluarkan cahaya warna-warni itu, bagiku paling-paling hanya
mendapatkan dua macam mainan yang menarik saja, perlu apa mesti banyak pikiran untuk
itu? Bukankah aku terlalu goblok?"
Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia tertidur lagi.
Dalam tidurnya itu, sekonyong-konyong ia melonjak bangun, katanya dalam hati, "He, ujung
pedang itu menunjuk ke puncak pelangi bagian bawah, jangan-jangan di balik itu ada
rahasianya lagi? Padahal untuk menjepit pedang dan batu mestika itu ke dinding tebing
tidaklah mudah dilakukan, bukan saja diperlukan ilmu silat yang tinggi, bahkan harus ada
orang mengereknya dengan tali yang panjang. Dan kalau secara susah payah berbuat begitu,
di dalamnya pasti mengandung maksud tertentu, apakah artinya rahasianya terletak di ujung
pelangi! Kalau dilihat dari kedua bayangan itu, kecuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain
lagi. Tapi ujung pelangi itu yang satu mengarah ke langit, ujung yang lain sebaliknya
menunjuk ke tengah danau, biarpun di dalamnya terkandung rahasia mahabesar juga susah
untuk memperolehnya."
Begitulah Toan Ki termangu-mangu sampai lama, akhirnya ia berpendapat, "Cahaya pelangi
setiap waktu berubah-ubah, mungkin tempat yang ditunjuk bayangan pedang itu besok akan
berlainan."
Esok paginya, karena memikirkan munculnya pelangi, ia menjadi lupa lapar. Akhirnya tiba
juga sang malam. Selarik pelangi panjang tampak menghias langit pula. Tapi begitu melihat,
Toan Ki menjadi kecewa. Ternyata kedua ujung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnya seperti
kemarin, yang sebelah mengarah ke langit, ujung lain menurun ke tengah danau.
Toan Ki coba mendekati tepi danau, suara gemuruh air terjun itu membuat telinga seakanakan
pekak, hanya sekejap saja baju sudah basah kuyup oleh cipratan air terjun. Ia lihat di
tengah danau terdapat suatu pusaran air yang sedang berputar dengan keras sekali. Karena
didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.
Waktu Toan Ki hitung-hitung, sudah hari ketiga sejak ia jatuh ke dalam jurang. Lewat empat
hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau racun Toan-jiong-san di dalam perut mulai
bekerja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh
Ciong Ling.
Ke sana ke sini juga mati, tidakkah lebih baik terjun ke tengah pusaran air saja untuk melihat
apakah ada sesuatu di dasar danau itu. Karena menghadapi jalan buntu, terpaksa mati-matian
mencari selamat, kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera
dilaksanakannya.
Karena itu, tanpa pikir lagi terus saja ia terjun ke tengah pusaran air itu. Seketika tubuhnya
digulung oleh suatu tenaga mahadahsyat terus berputar ke bawah. Lekas ia tutup
pernapasannya, sebaliknya pasang mata lebar-lebar, ia lihat sekitarnya hanya air buram
belaka, ia terhanyut ke dasar danau oleh arus air yang keras berasal dari air terjun di atas itu.
Toan Ki hanya sekadar bisa berenang saja, terhanyut di tengah arus air yang keras itu, ia tak
bisa menguasai diri lagi, tubuhnya berputar-putar dan sebentar saja ia sudah megap-megap
kemasukan air, seketika pikirannya samar-samar, hanya merasa terhanyut terus oleh arus air
dan entah berapa jauhnya.
Sekonyong-konyong tubuh terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran ke atas permukaan air.
Ketika Toan Ki menggeraki tangannya serabutan, untung dapat menangkap seutas akar rotan,
cepat saja ia pegang kencang-kencang.
Setelah tenangkan diri sejenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnya gelap gulita. Ia coba
ulur kaki kanan ke depan dan terasa masih menginjak tanah, segera kaki yang lain ikut
melangkah maju, tapi kedua tangan masih tidak berani melepaskan pegangannya pada akar
rotan tadi.
Setelah belasan tindak jauhnya, ia merasa air hanya sebatas betis kaki, arus air pun tidak
terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi dan berdiri tegak.
Tapi mendadak "blang", batok kepalanya kebentur sesuatu yang menonjol, saking kesakitan
hampir saja ia jatuh kelengar. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang kurang hati-hati. Waktu
meraba ke atas, benda itu terasa dingin keras, kiranya batu padas.
Setelah berpikir sejenak, Toan Ki tahu dirinya tadi telah terbawa ke dasar danau oleh pusaran
air yang dahsyat, tapi arus air itu ada jalan buangannya, maka dirinya ikut terbawa pula
sampai di tempat buangan air itu.
Meski keadaannya sekarang banyak celaka daripada selamatnya, namun selama masih ada
harapan, ia pantang menyerah, segera ia merangkak maju mengikuti lorong buangan air itu. Ia
dengar suara gemerujuknya air terkadang cepat dan terkadang lambat mengalir di kanan
kirinya.
Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga akhirnya dapatlah ia berdiri
sambil membungkuk. Ia berjalan terus, akhirnya dapatlah ia berjalan dengan tegak. Cuma
sering ia menginjak lubang di bawah air hingga mendadak badan terendam air sebatas
pinggang. Lain saat di atas kepala tiba-tiba menonjol batu padas hingga hampir kepalanya
benjut lagi kebentur. Untung kedua tangannya terjulur ke depan sebagai pembuka jalan, kalau
tidak entah berapa kali kepalanya akan bertambah telur ayam.
Setelah berjalan lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat pada Jing-leng-cu, ia coba meraba pinggang,
syukurlah binatang itu masih melilit di situ tanpa kurang apa-apa. Ia merasa pengalamannya
hari ini benar-benar merupakan pengalaman aneh selama hidup yang susah diperoleh orang
lain.
Sudah turun-temurun ahli waris Bu-liang-kiam suka termangu-mangu memandangi dinding
batu itu, tapi sekali-kali tidak mereka sangka bahwa orang harus terjun ke dalam jurang, di
situlah mereka akan menemukan apa yang diharapkan itu pada malam hari di bawah sinar
bulan purnama.
Namun seumpama sudah melihat bayangan pedang dan batu mestika di dinding itu, kalau
tiada punya semangat berani mati, rasanya juga takkan berani melompat ke tengah pusaran air
yang berarus dahsyat itu.
Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia terbahak-bahak, lalu ia
bergumam sendiri, "Wahai, Toan Ki! Jika hari ini jiwamu jadi melayang, itu berarti tamatlah
riwayatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, bolehlah kau mengejek Co Cubok
dan murid-muridnya yang sombong tapi tak becus itu."
Habis berkata, ia terbahak-bahak pula dengan keras.
Tak tersangka, mendadak di sebelah kanan sana juga ada orang menirukan tertawanya yang
terbahak-bahak itu. Keruan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itu pun
lenyap.
"Siapa itu?" seru Toan Ki.
"Siapa itu?" terdengar pula suara serupa di sana.
"Kau setan atau manusia?" teriak Toan Ki lagi.
"Kau setan atau manusia?" suara itu tetap menirukannya.
Setelah tertegun sejenak, akhirnya Toan Ki sadar dan tertawa geli sendiri, gerutunya, "Kurang
ajar, kiranya adalah kumandang suaraku sendiri."
Tapi segera timbul curiganya lagi, "Hanya lembah gunung atau sebuah ruangan besar yang
dapat menimbulkan kumandang suara. Jika begitu, di sebelah kanan sana tentu ada suatu
tempat yang luas. Haha, jika bukannya aku kegirangan hingga terbahak-bahak tawa, tentu aku
takkan tahu di sini masih ada suatu tempat lain lagi."
BAB 3 .....
Begitulah ia terus berteriak-teriak sambil menuju ke tempat datangnya suara itu. Tiada lama ia
merasa berada di suatu tempat yang luang, tangannya tidak meraba sesuatu lagi.
Tiba-tiba kehilangan sentuhan, Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia maju
terus, kaki merasa tidak mendapat rintangan apa-apa lagi. Sekonyong-konyong tangan
menyentuh sesuatu yang dingin. Begitu tersenggol, benda itu terus menerbitkan suara nyaring
“cring”, ketika diraba lagi lebih teliti, kiranya sebuah gembok besar.
Kalau ada gembok dengan sendirinya ada pintu.
Maka cepat Toan Ki meraba-raba pula, benar juga dari atas ke bawah ada belasan paku pintu
yang besar-besar. Dalam kejut dan girangnya ia heran pula kenapa di tempat seperti ini ada
penghuninya?
Segera ia angkat gembok tadi mengetuk pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada jawaban
apa-apa dari dalam. Kembali ia ketuk-ketuk dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia coba
dorong pintu itu.
Pintu itu sangat antap seperti terbuat dari baja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka perlahan
Toan Ki mendorong dan segera pintu itu terbuka. Dengan suara lantang Toan Ki lantas
berseru, “Cayhe Toan Ki secara sembrono telah masuk ke sini, mohon tuan rumah suka
memaafkan.”
Ia berhenti sejenak dan tidak mendengar sesuatu suara di dalam, lalu ia melangkah masuk.
Meski waktu itu ia sudah berada di dalam pintu, tapi biarpun matanya melotot hingga biji
mata seakan-akan melompat keluar tetap tidak melihat sesuatu benda, hanya hidungnya
merasakan bau di sini tidak selembap seperti di lorong air tadi. Ia berjalan terus ke depan,
mendadak “blang”, sungguh sial, kembali batok kepalanya kebentur sesuatu.
Syukur ia berjalan perlahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranya di
situ ada sebuah pintu pula. Perlahan Toan Ki mendorongnya hingga terbuka, tapi di dalam
tetap gelap gulita.
Dan begitulah seterusnya, beruntun-runtun Toan Ki telah melalui enam buah pintu. Ketika
memasuki pintu keenam itu, mendadak pandangannya terbeliak terang, kontan jantung Toan
Ki ikut memukul, serunya di dalam hati, “Ah, akhirnya dapatlah kukeluar dengan selamat!”
Waktu ia perhatikan, kiranya tempat itu adalah sebuah kamar batu berbentuk bulat, sinar
terang itu tembus dari sudut kiri sana, cuma agak remang-remang, seperti bukan cahaya
matahari. Ia coba mendekati lubang yang tembus sinar itu, tiba-tiba dilihatnya ada seekor
udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia maju lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor
ikan berwarna-warni sedang berenang di luar sana dengan bebasnya. Ketika diawasi lagi,
kiranya lubang jendela itu terbuat dari sepotong batu kristal yang dipasang di dinding itu,
besarnya kira-kira sama dengan baskom dan sinar tembus dari kaca yang berjumlah tiga buah
itu.
Toan Ki coba mengintip keluar melalui kaca itu, ia lihat di luar sana warna air hijau kebiruan
bergerak-gerak tak pernah berhenti, banyak jenis ikan dan udang berenang kian kemari
dengan bebasnya.
Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat dirinya berada ini pasti berada di dasar air, kalau
bukan di dasar danau, tentu di dasar sungai.
Rupanya pembangun rumah ini dahulu telah banyak mengorbankan jerih payah tenaga dan
pikiran baru dapat menarik cahaya air itu ke dalam ruangan, dan ketiga potong batu kaca itu
jelas adalah batu mestika yang tiada tara nilainya.
Ketika berpaling, Toan Ki melihat di tengah kamar batu itu terdapat sebuah meja batu, di
depan meja ada bangku, di atas meja tertaruh sebuah cermin perunggu. Di samping cermin
terdapat sebangsa sisir, tusuk kundai dan sebagainya. Agaknya bekas kamar kaum wanita.
Cermin perunggu itu tepinya sudah berlumut, di atas meja juga banyak debunya, entah sudah
berapa lama tiada orang menginjak kamar ini.
Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnya, “Lama berselang, tentu ada
seorang wanita tinggal kesepian di sini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih hingga
meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri di sini.”
Setelah termangu-mangu sejenak, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar
penuh terpasang cermin perunggu, sekadar dihitung saja sudah lebih dari 30 buah. Toan Ki
makin heran, pikirnya, “Tampaknya wanita yang tinggal di sini ini pasti cantik tiada
bandingannya, maka setiap hari senantiasa bercermin, suasana begini sungguh memesona.”
Ia mondar-mandir di dalam kamar itu, sebentar berkecek-kecek kagum, lain saat menghela
napas gegetun, ia kasihan pada wanita cantik yang belum pernah dikenalnya itu.
Selang agak lama, mendadak ia teringat, “Haya, celaka! Aku hanya memikirkan urusan orang
lain tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau di sini pun tiada jalan keluar, lalu bagaimana
nasibku?”
Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada jalan tembus lain lagi, dalam keadaan
putus asa, ia duduk di atas bangku batu sambil mengomel diri sendiri, “Aku Toan Ki sungguh
seorang lelaki dungu, kalau mati di sini hanya bikin kotor tempat si cantik saja. Kalau mau
mati, sepantasnya mati di lorong sana. Eh, sebelum ajal, biarlah kulihat wajahku sendiri ini
macam apa?”
Segera ia gunakan lengan baju untuk menggosok cermin perunggu di atas meja itu hingga
gilap, lalu ia duduk di bangku untuk mengaca, tapi letak cermin agak jauh hingga mukanya
kurang jelas, maka ia bermaksud menggeser cermin itu lebih dekat.
Tak tersangka cermin itu ternyata menempel erat di atas meja batu, sekali cermin itu ditarik,
seketika bangku yang diduduki itu terasa bergoyang.
Dalam kagetnya Toan Ki sangat girang, cepat ia berbangkit dan menarik cermin itu lebih
kuat, maka terdengarlah suara keriang-keriut, bangku batu mulai bergeser hingga tertampak
sebuah lubang di bawahnya. Ketika dipandang, di bawah lubang itu terdapat undak-undakan
batu yang menurun ke bawah.
“Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya aku Toan Ki mendapatkan jalan keluar,” seru
Toan Ki kegirangan. Terus saja ia turun ke bawah mengikuti undak-undakan batu itu.
Kira-kira belasan undakan, kemudian membelok ke atas, berlingkar-lingkar, makin jauh
makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, akhirnya pandangan Toan Ki terbeliak
terang, tapi mendadak ia menjerit kaget pula ketika tahu-tahu di depannya berdiri seorang
wanita cantik berpakaian putri istana dengan pedang terhunus lagi mengancam dadanya.
Sekilas Toan Ki merasa wanita ini cantik luar biasa dan sukar dilukiskan, selama hidupnya
belum pernah melihat wanita ayu seperti ini. Saking kejutnya sampai mulut Toan Ki
ternganga.
Selang agak lama, ia lihat wanita ini tetap tidak bergerak sedikit pun, ketika diawasi ia lihat
wanita itu meski cantik dan agung, tapi bukan manusia hidup.
Waktu diperhatikan lagi barulah ia tahu orang hanya sebuah patung yade putih saja. Cuma
patung ini besarnya seperti manusia biasa, baju sutera putih yang dipakai juga bisa bergerakgerak,
yang lebih aneh adalah biji matanya seakan-akan bersinar hidup.
Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak menyadari sudah berapa lama ia memandang patung
itu, akhirnya ia pun tahu biji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan
sebabnya patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena biji matanya yang
bersinar yang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung jelita yang terukir dari batu
kemala putih ini pun bersemu merah hingga tiada ubahnya seperti manusia hidup.
Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itu pun
ikut mengerling ke sana seakan-akan hidup, keruan Toan Ki terkejut, ia coba memandangnya
dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu pun mengerling mengikuti arahnya, dari sudut
mana dia memandang, sorot mata patung juga selalu memandang kepadanya, perasaan yang
terkandung dalam sinar mata patung itu pun sukar diraba, seperti girang, seakan-akan sedih,
entah suka, entah marah, seperti kemalu-maluan, tapi juga seperti lagi murung.
Toan Ki terkesima sejenak, ia kemudian membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, “Enci
Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan engkau, sungguh mati pun aku tidak
menyesal. Enci Dewi tinggal seorang diri di sini, apakah tidak merasa kesepian?”
Aneh bin ajaib, sorot mata patung itu seakan-akan berubah lain, agaknya dapat menerima apa
yang diucapkan Toan Ki itu. Sebaliknya pemuda itu sendiri seakan-akan kesurupan setan saja,
pandangannya tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanya pula, “Enci Dewi,
entah siapakah namamu?”
Segera ia pikir barangkali di sekitar sini dapat ditemukan sesuatu catatan. Ia coba memandang
seputarnya, tapi baru beberapa kejap, tak tahan lagi ia memandang patung itu lagi.
Kini barulah ia tahu bahwa rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, gelung yang agak
mengendur ke bawah seakan-akan tersampir di pundak, di atas gelungan terdapat sebuah
tusuk kundai kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar jari yang bersinar mengilat.
Ia lihat di sekitar dinding ruangan penuh terhias macam-macam batu permata hingga
menyilaukan mata. Di dinding sebelah barat sana jelas tertampak ada delapan huruf yang
dibentuk dari batu intan kecil. Arti dari kedelapan huruf itu adalah, “Rahasia Bu-liang dapat
ditemukan dengan membuka baju.”
Toan Ki terperanjat, gumamnya sendiri, “Membuka baju Enci Dewi? Mana boleh jadi!”
Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali pandang Toan Ki sudah kesengsem,
sedikit pun ia tidak berani berlaku kurang ajar. Pikirnya, “Memangnya aku tidak ingin tahu
segala rahasia apa, umpama ingin juga tidak berani berbuat sembrono terhadap Enci Dewi.
Untung sebelum ini tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita
cantik tiada bandingannya ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah? Ehm,
paling baik aku harus hilangkan huruf-huruf itu agar kelak bila ada orang lain datang ke sini
tidak akan bikin kotor patung cantik ini.”
Ia lihat di pojok kamar sana banyak tertumpuk cermin perunggu, sedikitnya ada ratusan buah.
Segera ia mengambilnya sebuah dan dipakai menggempur batu permata yang membentuk
kedelapan huruf tadi. Khawatir masih ada bekasnya, Toan Ki gosok-gosok pula lubanglubang
kecil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar.
Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berjasa bagi “patung dewi” itu, betapa senangnya sukar
dikatakan.
Kembali di depan patung itu, ia termangu-mangu lagi seperti orang linglung, bahkan
hidungnya seakan-akan mencium bau wangi. Dari suka timbul rasa hormatnya, dari hormat ia
menjadi kesengsem. Mendadak ia berteriak, “Enci Dewi, jika engkau bisa hidup dan bicara
sepatah saja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu kali bagimu, aku rela
dan senang tak terhingga.”
Tiba-tiba ia berlutut dan menyembah pada patung dewi. Dan karena berlututnya inilah baru ia
tahu bahwa di depan patung itu memang terdapat dua buah kasuran tikar seperti disediakan
untuk orang bersembahyang. Tikar yang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar, di dekat kaki
patung masih ada sebuah kasur tikar yang lebih kecil, agaknya disediakan bila yang
sembahyang menjura dengan manggutkan kepala ke lantai.
Ketika Toan Ki mulai menyembah, ia lihat di tepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam
tulisan.
Ketika diperhatikan, ia dapat membaca tulisan di tepi sepatu kiri berbunyi, “Menjura seribu
kali, turut segala perintahku.”
Dan di tepi sepatu kanan bertulis, “Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah.”
Tulisan-tulisan yang masing-masing terdiri dari delapan huruf itu kecil bagai lalat, sepatu
patung itu berwarna hijau tua, kalau tidak menyembah pasti tak mengetahui di bawah situ ada
tulisannya. Sekalipun dapat melihatnya, orang biasa bila membaca kata-kata, “Menjura seribu
kali, turut segala perintahku”, tentu akan merasa enggan, bagi yang berwatak keras dan tinggi
hati, boleh jadi patung itu akan didepak.
Apalagi tulisan yang berbunyi, “Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah”,
lebih-lebih membikin siapa pun marah bila membacanya.
Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar-benar terhadap patung dewi itu, ia merasa menjura
seribu kali juga pantas, malahan kalau bisa menjadi pesuruh sang dewi, itulah melebihi
harapannya. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan celaka dan nama musnah
demi sang dewi, betapa pun ia rela.
Sebenarnya kalau orang biasa, bila melihat tulisan itu, andaikan tidak marah, paling-paling
juga tertawa dan anggap sepele saja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang
linglung, ia benar-benar terus menjura, sekali, dua kali, tiga kali ... empat belas, lima belas ...
dua puluh ... tiga puluh ....
Sambil mulutnya menghitung, dengan sangat khidmat ia menjura tiada hentinya.
Kira-kira menjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, boyok pegal, leher cengeng. Tapi
demi sang dewi, betapa pun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad
menjura sampai selesai 1.000 kali.
Sampai lebih 800 kali, tiba-tiba kasur kecil yang dibuat ganjal anggukan kepala itu perlahan
ambles ke bawah. Setiap kali kepalanya mengangguk, kasur kecil itu lantas ambles lagi
sedikit.
Setelah berpuluh kali menjura pula, tiba-tiba dilihatnya tempat yang ambles itu menongol tiga
buah ujung panah yang mengarah miring ke atas dan tepat mengincar batok kepalanya.
Lamat-lamat tertampak ujung panah itu gemerlapan, batang panah terpasang pegas.
Setelah berpikir sejenak, segera Toan Ki paham persoalannya. Katanya di dalam hati, “Wah,
hampir celaka! Kiranya di bawah situ ada perangkapnya berupa panah beracun. Untung aku
menjura dengan menghormat sungguh-sungguh sehingga kasur itu ambles perlahan dan panah
berbisa itu tidak menjeplak keluar. Jika aku berlaku kasar dan mendepak-depak kasuran itu,
sekali alat perangkap terguncang, panah berbisa itu mungkin sudah menancap di perutku.
Biarlah kuhabiskan menjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi.”
Segera ia menjura pula dan selesaikan jumlah 1.000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat
tempat yang ambles tadi terdapat sepotong pelat baja, di atasnya ada ukiran tulisan, segera
Toan Ki ambil pelat baja itu dan membacanya, “Karena kau sudah menjura seribu kali, kini
kau telah menjadi muridku. Nasibmu selanjutnya akan sangat mengenaskan. Ilmu silat
golongan kita yang tiada bandingannya di kolong langit ini berada di dalam kamar batu, harap
dipelajari dengan tenang.”
Sungguh kecewa Toan Ki. Justru karena tak mau belajar silat, maka ia minggat dari rumah.
Dengan sendirinya sekarang ia pun tidak ingin belajar ilmu silat tiada bandingan di kolong
langit apa segala.
Dengan hati-hati ia kembalikan pelat baja tadi ke tempatnya. Ketika berdiri lagi, ia merasa
kaki kemeng kaku seluruhnya, hampir saja ia jatuh terguling.
Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia memberi hormat pula dan berkata, “Enci
Dewi, aku tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingan di kolong langit
pun aku tidak mau belajar. Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini kumohon
diri. Nanti kalau nona Ciong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk
berkumpul lagi dengan Enci Dewi.”
Dengan perasaan berat ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak-undakan batu di
luar kamar miring ke atas, ia melangkah naik dengan ragu-ragu, beberapa kali ia ingin
menoleh ke belakang untuk memandang patung cantik itu, syukur imannya cukup teguh,
akhirnya ia bisa mengekang diri.
Kira-kira ratusan undakan ke atas, ia sudah membelok tiga kali, lamat-lamat terdengar suara
gemuruh air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras seakan-akan memekak
telinga, lalu tertampak ada cahaya menembus masuk dari depan sana.
Toan Ki percepat langkahnya hingga tibalah di ujung terakhir undak-undakan batu itu.
Ternyata di situ ada sebuah lubang yang cukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia coba
melongok keluar dengan kepala menongol lebih dulu, tapi ia menjadi kaget.
Di luar sana arus mendebur-debur, gulung-gemulung dengan hebatnya, ternyata sebuah
sungai besar. Kedua tepi sungai penuh tebing curam, batu padas sungsang timbul di sana-sini,
Toan Ki yakin tempat ini pasti lembah sungai Lanjong.
Kejut dan girang rasa hati Toan Ki. Cepat ia merangkak keluar dari lubang gua itu. Ternyata
tempat dirinya berada ini kira-kira belasan tombak tingginya di atas permukaan sungai,
biarpun air sungai naik pasang melanda juga takkan mencapai mulut gua ini.
Tapi untuk bisa mencapai daratan, ia perlu juga merayap melalui tebing-tebing curam. Namun
berkat bantuan Jing-leng-cu, walaupun dengan susah payah, akhirnya dapatlah Toan Ki
sampai di tempat yang aman. Ia ingat baik-baik keadaan sekitar tempat ini agar kelak bila
urusannya beres, ia ingin datang lagi ke tempat yang maharahasia ini.
Ia melanjutkan perjalanan dengan menyusur tepi sungai yang penuh batu karang, setelah
beberapa li jauhnya, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho yang lagi berbuah, memangnya
sudah sangat lapar, segera Toan Ki panjat ke atas pohon dan petik buah Tho itu untuk tangsel
perut. Habis makan, semangatnya dapat dipulihkan.
Setelah belasan li lagi, akhirnya sampailah di suatu jalan kecil. Ia maju terus mengikuti jalan
kecil itu. Ketika hampir magrib baru ia menemukan, “jembatan rantai besi” yang melintang
terapung di antara kedua tepi sungai. Ia lihat di atas batu ujung jembatan gantung itu terukir
tiga huruf “Sian-jin-toh” atau jembatan orang bajik.
Melihat nama jembatan itu, kembali Toan Ki bergirang, memang itulah jembatan yang dicari
sesuai dengan petunjuk Ciong Ling. Terus saja ia menyeberangi jembatan.
Jembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi yang sambung-menyambung, dua utas bagian
bawah diberi papan kayu untuk jalan, dua utas yang lain dipakai pegangan orang
menyeberang.
Begitu Toan Ki menginjak jembatan gantung itu, segera rantai jembatan bergontai-gontai.
Sampai di tengah sungai, guncangan jembatan itu semakin hebat. Sekilas pandang ke bawah,
air sungai tampak mengombak dan berdebur dengan hebatnya, bila terpeleset jatuh ke bawah,
betapa pun pandai berenang rasanya juga takkan mampu melawan ombak yang luar biasa itu.
Toan Ki tak berani menengok lagi ke bawah, ia pandang lurus ke depan, dengan berdebardebar
setindak demi setindak ia merambat ke ujung sana.
Ia duduk mengaso sejenak di tepi jembatan, kemudian baru melanjutkan perjalanan menurut
petunjuk yang pemberian Ciong Ling itu.
Menurut Ciong Ling, lembah pegunungan kediamannya itu bernama “Ban-jiat-kok” atau
lembah berlaksa maut. Jalan masuknya adalah sebuah kuburan.
Setelah berliku-liku melintasi bukit dan menyusur rimba, ketika sampai di tempat kuburan
yang dicari itu, hari sudah remang-remang gelap.
Ia hitung dari kiri ke kanan dan mendapatkan kuburan nomor tujuh, ia lihat di depan kuburan
itu terdapat sepotong batu nisan yang bertuliskan “Kuburan Ban Siu Toan.”
Toan Ki tercengang, pikirnya: “Aneh benar nama ini? Kenapa bernama ‘Siu Toan’ (dendam
pada Toan)?”
Waktu Ciong Ling memberitahukan tempat tinggalnya, gadis itu menjelaskan kalau mesti
mencari kuburan ketujuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa yang tertulis pada
batu nisan.
Kini melihat nama “Ban Siu Toan” yang aneh itu, Toan Ki menjadi ragu. Ia lihat sekitarnya
sunyi senyap penuh kuburan, hanya terkadang terdengar suara keresek daun pohon yang
bergerak terembus angin senja.
Toan Ki tak berani ayal, segera ia menurut petunjuk Ciong Ling dan menarik batu nisan tadi
ke kiri, menyusul menarik lagi dua kali ke kanan dan kembali sekali pula ke kiri. Habis itu ia
mendepak tiga kali ke tengah-tengah tulisan pada batu nisan itu. Tulisan yang tepat
didepaknya itu adalah huruf “Toan”, yaitu nama keluarga Toan Ki sendiri. Diam-diam ia geli
sendiri, bila orang lain, tidak sudi mendepak huruf yang menjadi nama keluarga sendiri itu.
Dalam pada itu tiba-tiba dua potong batu di samping kuburan itu mendadak bergerak hingga
tertampak sebuah lubang masuk.
Toan Ki coba melongok ke dalam, tapi keadaan gelap gulita, ia tabahkan diri dan melangkah
masuk lubang itu, sambil tangan meraba-raba dan membelok suatu tikungan, akhirnya ia
melihat di depan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinya, tapi ia menjadi kaget,
ternyata di samping pelita itu terdapat sebuah peti mati.
Sesuai petunjuk Ciong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan menjadi
gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriang-keriut beberapa kali, tutup peti mati tadi
terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menegur, “Apakah Siocia yang
datang?”
“Cayhe bernama Toan Ki,” cepat Toan Ki menyahut, “atas permintaan nona Ciong, kuingin
bertemu dengan Kokcu (pemilik lembah).”
Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanya agak terkejut atas kedatangan Toan Ki, katanya,
“Ja ... jadi kau orang luar? Dan di manakah Siocia kami?”
“Nona Ciong terancam bahaya, Cayhe membawa berita kemari,” sahut Toan Ki.
“Tunggu sebentar, biar kulaporkan pada Hujin (nyonya),” kata wanita itu.
Toan Ki menyatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnya nona Ciong suruh aku menemui
ibunya lebih dulu, tampaknya urusan ini memberi harapan bagus.
Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, akhirnya Toan Ki mendengar suara
tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita itu berkata padanya, “Hujin menyilakan
tuan tamu masuk!”
“Aku tidak bisa melihat,” kata Toan Ki, “terlalu gelap!”
Tiba-tiba terasa sebuah tangan terjulur menarik tangan kanannya dan melangkah masuk ke
dalam peti mati, lalu menurun melalui undak-undakan batu.
Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannya menjadi terang. Rupanya Toan Ki
telah dibawa ke suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan bunga. Wanita itu lepaskan
tangan Toan Ki yang digandengnya dan berkata, “Tuan tamu silakan ikut padaku.”
Di bawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15 tahun, berdandan
pelayan, mungkin adalah dayang yang melayani Ciong Ling.
Maka Toan Ki coba bertanya, “Siapakah nama Cici?”
“Sssstt!” pelayan itu mendesis sambil menoleh dan menggoyang-goyang tangan tanda jangan
bersuara.
Melihat wajah pelayan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak tanya lebih lanjut.
Dayang itu membawa Toan Ki menyusur rimba dan menuju ke kiri melalui suatu jalan kecil.
Sampai di depan sebuah rumah genting, perlahan pelayan itu mengetok pintu tiga kali, dengan
perlahan daun pintu lantas terpentang.
Pelayan itu memberi tanda, Toan Ki disilakan masuk dahulu, ia sendiri berdiri ke samping
pintu.
Waktu Toan Ki melangkah ke dalam, ia lihat di situ adalah sebuah ruangan tamu, di atas meja
tersulut sebatang lilin besar hingga jelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat indah,
di atas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu yang tidak terlalu
luas itu ternyata sangat serasi.
Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelayan tadi menyuguhkan teh, katanya, “Silakan
Kongcu minum, sebentar Hujin akan keluar!”
Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang perlahan, dari dalam muncul
seorang nyonya berbaju sutera hijau muda, usianya sekitar 40-an tahun, wajahnya putih ayu
dan rada mirip dengan Ciong Ling.
Menduga tentu inilah ibu Ciong Ling, cepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat,
katanya, “Wansing (saya yang muda) Toan Ki menyampaikan salam pada Pekbo (bibi).”
Mendengar itu, nyonya Ciong rada tercengang, dengan sikap yang anggun ia membalas
hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanya kelihatan jelas, mendadak air
muka Ciong-hujin berubah hebat sambil terhuyung-huyung mundur dua tindak, katanya
dengan tergegap, “Kau ... kau ....”
“Ada apa Pekbo?” tanya Toan Ki heran.
“Kau ... kau juga she Toan?” Ciong-hujin menegas.
Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Ciong Ling yang pernah minta agar dia jangan
mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan di dunia ini sangat banyak, melulu daerah
Hunlam saja tidak kurang beratus ribu lelaki she Toan, belum tentu setiap orang she Toan
mahir ilmu It-yang-ci, sebab itulah ia tidak perhatikan pesan gadis itu.
Kini demi tampak wajah Ciong-hujin yang terkejut itu, baru Toan Ki paham apa yang
dikatakan Ciong Ling itu sebenarnya mengandung maksud mendalam. Tapi urusan sudah
terlambat, terpaksa ia menjawab, “Ya, Wansing she Toan.”
“Kongcu berasal dari mana? Dan siapakah nama orang tua Kongcu?” tanya nyonya Ciong
lagi.
Toan Ki pikir sekarang harus berdusta agar asal usulku tak diketahui, maka jawabnya,
“Wansing berasal dari Li-an-hu di daerah Kanglam, ayah bernama Toan Liong.”
Ciong-hujin menghela napas lega oleh jawaban itu, setelah tenangkan diri, katanya pula,
“Silakan Kongcu duduk.”
Setelah kedua orang sama-sama ambil tempat duduk, nyonya Ciong tidak membuka suara
lagi, tapi terus mengamat-amati Toan Ki dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Keruan
Toan Ki menjadi kikuk, akhirnya ia bicara lebih dulu, “Putri nyonya sedang terancam bahaya,
Wansing sengaja datang memberi kabar.”
“Ah! Kenapa dengan putriku?” seru Ciong-hujin tersadar dari lamunannya.
Segera Toan Ki melepaskan Jing-leng-cu dari pinggangnya dan diserahkan pada nyonya
rumah, katanya, “Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal putrimu yang dibawakan
pada Wansing.”
Melihat ular hijau itu, Ciong-hujin berkerut kening dan mengunjuk rasa jemu, ia sedikit
menghindar ke belakang sambil berkata, “Kiranya Kongcu juga tidak takut pada binatang
berbisa ini. Harap letakkan di pojok rumah sana saja.”
Diam-diam Toan Ki heran melihat nyonya rumah itu jeri pada ular. Ia taruh Jing-leng-cu di
sudut ruangan yang ditunjuk itu. Lalu menceritakan pertemuannya dengan Ciong Ling di
Kiam-oh-kiong di atas Bu-liang-san dan cara bagaimana dirinya menerbitkan gara-gara
hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, di mana terpaksa Ciong Ling melepaskan Kimleng-
cu, tapi akhirnya gadis itu tertawan serta dirinya dipaksa datang kemari minta
pertolongan. Semuanya Toan Ki ceritakan, hanya pengalamannya melihat patung kemala di
dasar danau itu tak disebut-sebut.
Sambil mendengarkan, Ciong-hujin diam saja, air mukanya makin lama makin menampilkan
rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata, “Anak
perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah lantas bikin onar.”
“Peristiwa ini adalah gara-gara perbuatanku, tak boleh menyalahkan nona Ciong,” ujar Toan
Ki.
Dengan termangu-mangu Ciong-hujin memandangi anak muda itu, sahutnya dengan lirih,
“Ya, memang tak dapat menyalahkan dia. Dahulu aku pun demikian ....”
“Apa itu?” Toan Ki menegas.
Ciong-hujin terkesiap hingga wajah bersemu merah, meski usianya sudah setengah umur, tapi
sikap malu-malu kucingnya itu ternyata tiada ubahnya seperti gadis remaja. Dengan likat ia
menjawab, “O, aku ... aku hanya teringat pada sesuatu kejadian.”
Dan karena berkata “sesuatu kejadian” itu, wajahnya tampak semakin merah jengah, cepat ia
membelokkan pokok pembicaraan, “Kukira urusan ... urusan ini agak sulit diselesaikan.”
Melihat sikap nyonya rumah yang kemalu-maluan itu, diam-diam Toan Ki pikir sang ibu
ternyata lebih pemalu daripada putrinya yang lincah dan binal itu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di luar sana dengan nada dingin,
“Hm, apakah tidak pernah kau dengar peraturan di Ban-jiat-kok kami ini?”
Cong-hujin terkejut mendengar suara itu, dengan perlahan katanya pada Toan Ki, “Suamiku
datang, dia ... dia suka mencurigai orang, sementara harap Toan-kongcu bersembunyi
dahulu.”
“Tapi akhirnya Wansing toh harus menjumpai Ciong-cianpwe, lebih baik ....” belum selesai
ucapan Toan Ki, cepat tangan Ciong-hujin sudah mendekap mulutnya, lalu menyeretnya ke
suatu kamar di sebelah timur sana.
“Sembunyi saja di sini, sekali-kali jangan bersuara,” pesan nyonya rumah. “Watak suamiku
sangat keras dan pemarah, bila ketahuan jiwamu akan terancam dan aku pun tak bisa
menolongmu.”
Jangan sangka nyonya rumah itu tampaknya lemah lembut, ilmu silatnya ternyata sangat lihai,
sedikit pun Toan Ki tak bisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut saja.
Hanya dalam hati pemuda itu rada mendongkol, “Jauh-jauh kudatang memberi kabar, jelekjelek
aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunyi seperti pencuri saja?”
Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita di balik dinding papan sana sedang
berkata, “Suciku ini dipagut ular berbisa, jiwanya terancam bahaya, maka mohon Locianpwe
suka memberi pertolongan ....”
Sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki ruangan sebelah.
Waktu Toan Ki mengintip melalui celah-celah dinding, ia lihat seorang wanita berbaju hijau,
menggembol pedang di punggung, tangan memondong seorang wanita lain dan tiada hentinya
minta ditolong.
Di samping sana ada seorang laki-laki berbaju hitam bertubuh tinggi kurus, muka menghadap
ke luar, maka wajahnya tidak kelihatan, cuma dari kedua tangannya yang lebar terjulur ke
bawah itu, jelas bentuknya sangat aneh luar biasa.
Kemudian terdengar suara Ciong-hujin lagi tanya, “Siapakah kedua tamu ini? Ada keperluan
apakah datang ke lembah sini?”
Wanita baju hijau tadi menaruh kawan yang dipondongnya itu ke lantai, lalu bertanya,
“Nyonya tentulah Ciong-hujin?”
Ciong-hujin mengangguk.
“Siaulicu (aku perempuan yang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari
Siamsay, terimalah hormatku ini,” kata wanita baju hijau sambil memberi hormat.
“Ah, nona Hoan tak perlu banyak adat,” cepat Ciong-hujin membalas hormat sembari
membangunkan orang.
Toan Ki melihat Hoan He itu kira-kira berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar,
gagah mirip kaum pria.
Terdengar ia berkata lagi, “Siaulicu bersama Suci, Si Hun, oleh karena ada keperluan
berkunjung ke daerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Suci yang kurang hati-hati
mendadak dipagut oleh seekor ular emas kecil ....”
Mendengar kata-kata “ular emas kecil”, hati Toan Ki tergerak, pikirnya, “Jangan-jangan yang
dimaksudkan itu adalah Kim-leng-cu piaraan nona Ciong?”
“Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu?” tanya nyonya Ciong.
“Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso di tepi jalan,” demikian tutur Hoan He.
“Tiba-tiba tertampak seekor ular emas kecil merayap keluar dari semak-semak rumput, karena
tertarik oleh warna emas gemerlap ular itu. Suci telah mencukitnya dengan pedang. Tak
tersangka ular kecil itu terus melejit ke atas dan menggigit sekali pada pergelangan tangan
Suci. Seketika itu juga Suci jatuh pingsan ....”
Tiba-tiba laki-laki berbaju hitam tadi menyela, “Asal kau bunuh ular emas itu dan telan
empedunya, jiwa lantas dapat tertolong.”
Jawab Hoan He, “Pergi-datang ular emas itu teramat cepat, sekali melejit lagi lantas
menghilang di tengah-tengah semak-semak rumput, pula Siaulicu sibuk menolong Suci, tidak
terpikir bahwa ular itu harus dibunuh.”
“Bagus bila kau tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-cu itu secepat kilat,” kata laki-laki baju
hitam itu dengan terbahak-bahak. “Orang yang berilmu silat sepuluh kali lebih tinggi
daripadamu juga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar cari penyakit, tanpa sebab
kenapa mesti mengutik-utik ular itu dengan pedang? Ha, mampus juga pantas.”
“Sudahlah, orang sudah terluka dan jauh-jauh datang ke sini minta tolong padamu, buat apa
menyakiti perasaan orang malah?” ujar sang istri.
Mendengar nada ucapan Ciong-hujin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki-laki berbaju hitam
itu tak-lain tak-bukan adalah ayah Ciong Ling, pemilik Ban-jiat-kok ini.
Dalam pada itu lelaki baju hitam itu sedang terbahak-bahak pula sambil berpaling. Melihat
mukanya, Toan Ki menjadi kaget. Ternyata muka orang ini berbentuk lonjong mirip muka
kuda, kedua mata tumbuh terlalu tinggi, hidungnya yang besar sebaliknya hampir berdesakan
dengan mulutnya yang lebar, hingga di tengah muka terluang suatu bagian yang kosong.
Wajah Ciong Ling cantik molek, sungguh tak nyana bahwa ayah kandungnya bisa begini
jelek mukanya.
Tadinya wajah Ciong-kokcu itu penuh senyum ejekan, tapi demi berpaling ke arah sang istri,
wajahnya yang jelek itu tampak berubah lemah lembut, katanya dengan tertawa, “Baiklah, apa
yang Niocu (istriku) katakan, aku hanya menurut saja.”
Diam-diam Toan Ki heran pula, pikirnya, “Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang,
Ciong-hujin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Ciong-kokcu sekarang, ia justru
sangat cinta dan menghormat kepada sang istri.”
Rupanya Hoan He juga sudah dapat melihat gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula,
“Mohon Ciong-kokcu dan Ciong-hujin sudi menolong jiwa Suciku, bukan saja kami berdua
akan sangat berterima kasih, pun guruku akan merasa utang budi.”
“Gurumu tentunya si bopeng Pho Pek-ki, bukan?” tanya Ciong-kokcu. “Hm, dia adalah
angkatan muda, perlu apa kuharapkan dia utang budi padaku. Dahulu ketika aku meninggal,
kenapa dia tidak datang melawat? Apa dia kira aku tidak tahu? Aku justru tahu jelas biarpun
berada di dalam peti mati ini.”
Ucapannya itu tidak hanya membikin Toan Ki tercengang, sekalipun Hoan He juga dibuatnya
bingung. Pikirnya, “Engkau masih hidup segar bugar seperti ini, kenapa bilang sudah
meninggal dan bicara tentang melawat serta peti mati segala?”
Tiba-tiba Ciong-kokcu tanya lagi dengan suara keras, “Sudah sekian tahun aku meninggal
dunia, orang luar tiada yang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah yang memberi
petunjuk padamu untuk mencariku ke sini dan dari mana kau kenal jalan masuk Ban-jiatkok?”
Pertanyaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnya menekuk ke bawah dan mulut merot,
sikapnya sangat menakutkan.
Maka jawablah Hoan He, “Waktu Siaulicu merasa bingung ingin menolong jiwa Suci dan
lekas-lekas berlari ke kota untuk mencari tabib, tiba-tiba kulihat di tepi jalan ada seorang nona
berbaju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular kecil. Ular itu
berwarna emas mengilat, terang itu ular berbisa yang baru saja memagut Suci. Maka cepat
Siaulicu berseru memperingatkan nona baju hitam itu agar jangan main-main dengan ular
berbisa jahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah
menangkap ular emas itu terus dimasukkan ke dalam bajunya. Melihat itu, Siaulicu menjadi
girang, sebab kupikir orang yang dapat mengatasi ular itu tentu dapat pula mengobati pagutan
sang ular. Segera Siaulicu memohon dengan sangat, namun nona itu menjawab tak bisa
mengobati bisa ular itu, ia bilang di seluruh jagat hanya ada seorang yang mampu
menyembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petunjuk untuk datang kemari mohon
pertolongan Ciong-kokcu. Ketika Siaulicu minta tanya nama nona baju hitam itu, namun dia
tak mau memberi tahu.”
Mendengar uraian itu, Ciong-kokcu dan sang istri saling pandang sekejap, lalu berkata dengan
menjengek, “Huh, kiranya dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ingin memaksa aku
keluar dari lembah ini. Ya, semuanya gara-gara Ling-ji, dia sembarangan membawa Kimleng-
cu keluar lembah hingga menimbulkan onar saja.”
Lalu ia berpaling dan tanya Hoan He, “Lalu, apa yang dikatakan lagi oleh perempuan itu?”
“Tidak ada lagi,” sahut Hoan He.
“Betul tidak ada lagi?” Ciong-kokcu menegas dengan dingin.
Hoan He menyahut dengan gelagapan, “Nona ... nona itu seperti berkata bahwa ‘Jalan hidup
melulu satu ini, cuma, sekali sudah masuk ke sana, belum tentu dapat keluar lagi dengan
selamat. Maka kau pikir masak-masak sebelumnya.”
“Benar!” ujar Ciong-kokcu. “Dan kau sudah pikirkan tidak?”
Cepat Hoan He berlutut menjura pula sambil memohon, “Mohon belas kasihan Ciong-kokcu
dan Hujin.”
“Bangunlah,” sahut Ciong-kokcu. “Aku mempunyai dua jalan bagimu dan boleh kau pilih
mana suka. Pertama, kau dan Sucimu selama hidup tinggal di lembah ini melayani istriku.
Jalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar sesudah keluar dari sini
tidak membocorkan rahasiaku.”
“Tapi ... tapi Siaulicu ditugaskan Suhu untuk menyelesaikan suatu urusan penting di Hunlam
sini,” sahut Hoan He setengah meratap, “sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti
melanggar perintah guru bila harus tinggal di sini ....”
“Jadi kau pilih jalan kedua saja?” kata Ciong-kokcu.
Tiba-tiba Hoan He merangkak maju dan merangkul kedua kaki Ciong-hujin sambil meratap,
“Mohon belas kasihan Hujin, Siaulicu berjanji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup
mulut serapatnya, kalau berani bicara satu patah kata saja, biarlah aku mati tercencang tak
terkubur.”
“Hm, aku Ciong Ban-siu bila bukan lantaran terlalu percaya pada sumpah orang, rasanya hari
ini takkan mengumpet di lembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret serupa kura-kura,”
tiba-tiba Ciong-kokcu tertawa menjengek, dan tangan kiri terulur, tahu-tahu leher baju Hoan
He kena dicengkeramnya terus diangkat ke atas.
Perawakan tubuh Hoan He di kalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh
Ciong Ban-siu, kakinya lantas kontal-kantil setinggi hampir satu meter. Saking kaget dan
takutnya Hoan He menjerit, berbareng kaki kanan terus menendang ke dada Ciong Ban-siu.
Namun sama sekali Ciong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang.
Maka terdengarlah suara “krek” sekali, tahu-tahu tulang kaki Hoan He sendiri yang patah
malah.
Menyusul tangan kanan Ciong Ban-siu bergerak, sinar tajam berkelebat, agaknya tangannya
itu telah menyiapkan semacam senjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara “cratcret”
dua kali, kedua tangan Hoan He terkutung sebatas pergelangan.
Ciong-hujin hanya mendengus saja menyaksikan itu.
Segera Ciong Ban-siu memasukkan jarinya pula ke mulut Hoan He, terdengar nona itu
berseru tertahan sekali, darah lantas mengucur dari mulutnya, lidah telah diiris putus juga.
Berdebar hati Toan Ki menyaksikan adegan mengerikan itu, ia dekap mulut sendiri, sedikit
pun tak berani bersuara, pikirnya, “Meski kau kutungi kedua tangan dan iris lidahnya, dia kan
masih punya kaki yang dapat dipakai menggores tulisan di atas tanah, akhirnya dia bisa juga
membocorkan rahasia Ban-jiat-kok ini.”
Ia lihat Ciong Ban-siu melemparkan tubuh Hoan He yang sudah pingsan saking kesakitan itu,
lalu Si Hun yang menggeletak di tanah tak sadarkan diri itu diseretnya dan diperlakukan
seperti Hoan He, kedua tangannya dikutungi dan lidahnya dipotong.
Melihat kekejaman orang, Toan Ki naik darah, tak terpikir lagi olehnya akibat apa yang bakal
menimpa dirinya, mendadak ia membentak, “Pengecut yang rendah tak kenal malu, kau
benar-benar terlalu keji!”
Bentakan Toan Ki membuat Ciong Ban-siu kaget, lebih-lebih Ciong-hujin, ia ketakutan
hingga pucat bagai kertas.
Dengan langkah lebar terus saja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Ciong
Ban-siu dan mendamprat, “Ciong siansing, nyalimu terlalu kecil, caramu ini bukanlah
perbuatan seorang laki-laki sejati!”
Melihat wajah Toan Ki, air muka Ciong Ban-siu berubah hebat dan terkesiap, katanya,
“Apakah kau ... kau ... ah, tak mungkin ....”
“Cayhe bernama Toan Ki,” segera pemuda itu perkenalkan diri, “sedikit pun aku tidak paham
ilmu silat, maka hendak kau korek atau kau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi kalau
kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu yang kejam tak berperikemanusiaan ini pasti akan
kusiarkan di dunia Kangouw, biar setiap orang kenal manusia macam apakah Ciong Ban-siu
itu?”
“Hahaha!” tidak gusar Ciong Ban-siu, malah tertawa. “Manusia macam apa Ciong Ban-siu,
masakah orang Kangouw tidak tahu? Kau bocah ini apa tidak kenal julukanku dahulu di dunia
Kangouw?”
“Tidak tahu,” sahut Toan Ki.
“Aku Ciong Ban-siu, berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang lantas membunuh)!” kata
Ciong Ban-siu dengan sikap sangat bangga.
Toan Ki tercengang oleh julukan itu, tapi dalam dadanya segera bergolak pula oleh semangat
banteng, dengan lantang katanya, “Jadi membunuh secara kejam orang tak berdosa memang
dasar watakmu. Cuma umumnya kalau orang suka membunuh, biasanya pasti tidak takut pada
langit dan gentar pada bumi, masakan bisa pengecut seperti kau, takut kepala sembunyi
buntut, jeri di muka khawatir di belakang.”
Rupanya ucapan Toan Ki itu tepat menusuk perasaan Ciong Ban-siu hingga seketika ia malah
tidak gusar.
Toan Ki memang tidak pikirkan mati hidupnya sendiri lagi, segera ia berkata pula, “Kulihat
ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka engkau tentu seorang laki-laki berjiwa baja, bila tak bisa
mengalahkan orang, seharusnya kau labrak dia mati-matian, sekalipun akhirnya harus gugur
bersama. Tapi engkau justru main sembunyi, khawatir orang membocorkan tempat
mengumpetmu, lantas kau siksa dan menganiaya seorang wanita yang tak mampu melawan
kau, apakah ... apakah perbuatanmu ini adalah kelakuan seorang jantan tulen?”
Wajah Ciong Ban-siu tampak sebentar pucat sebentar merah padam, seakan-akan apa yang
dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnya kena benar menusuk lubuk hatinya, tiba-tiba sinar
matanya yang bengis mencorong tajam, tampaknya segera akan membunuh orang.
Tapi setelah tertegun sejenak, mendadak ia menggebrak meja, “blang”, meja di sebelahnya
sempal separuh, menyusul sebelah kakinya melayang, dinding papan jebol berlubang, sambil
tutup mukanya dengan kedua tangan sendiri segera berseru, “Ya, aku pengecut, aku
pengecut!”
Mendadak ia lari keluar.
Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Ciong-hujin sampai gemetar dan bersandar di
dinding, sama sekali tak tersangka olehnya sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki.
Ia menoleh dan tanya, “Toan-kongcu, apa be ... benar kau tak bisa ilmu silat?”
Sembari berkata, dengan perlahan tangan menabok punggung pemuda itu.
Tempat yang ditabok itu adalah tempat mematikan di tubuh manusia, asal sedikit ia gunakan
Lwekang, tidak mati pun Toan Ki akan terluka parah. Namun pemuda itu memang benarbenar
tak bisa ilmu silat, maka sedikit pun ia tak kenal bahaya, dengan jujur ia menjawab,
“Wansing memang tak pernah belajar silat, kepandaian yang melulu dipakai mencelakai
orang ini tiada harganya untuk kupelajari.”
“Be ... besar amat nyalimu, ternyata se ... serupa benar dengan dia,” kata Ciong-hujin.
“Serupa dengan siapa?” Toan Ki menegas.
Kembali wajah Ciong-hujin bersemu merah, ia tidak menjawab pertanyaan orang, sebaliknya
ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelayan tadi.
“Bubuhi obat luka pada kedua nona itu untuk mencegah darah mengucur terlampau banyak,”
pesan nyonya rumah itu.
Pelayan itu mengiakan dan memondong Si Hun dan Hoan He ke dalam kamar, dari sikapnya
yang sedikit pun tidak heran atau kaget, agaknya soal sang suami membunuh dan menganiaya
orang sudah biasa dilihatnya.
Sambil bertopang dagu Ciong-hujin terombang-ambing dalam lamunannya, seperti ada
sesuatu kesulitan mahabesar yang sukar diputuskan.
Tadi Toan Ki hanya terdorong oleh darah panas yang timbul seketika, maka berani
mendamprat Ciong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekat. Tapi kini demi melihat darah
berlumuran di lantai, hatinya menjadi takut lagi. Pikirnya, “Aku harus lekas-lekas berusaha
melarikan diri, kalau tidak, bukan saja jiwa akan melayang, bahkan akan mati dengan
mengenaskan.”
Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada nyonya rumah dan
berkata, “Wansing sudah menunaikan tugas menyampaikan berita, kini mohon Hujin lekas
berdaya untuk menolong putrimu.”
“Nanti dulu, Kongcu,” sahut Ciong-hujin.
Karena itu Toan Ki tidak jadi tinggal pergi.
“Mungkin Kongcu tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidup takkan keluar
dari lembah ini,” kata nyonya rumah itu kemudian. “Sebab itulah, meski putriku itu tertawan
musuh, rasanya suamiku takkan pergi menolongnya .... Ah, urusan sudah telanjur begini,
terpaksa aku saja yang ikut pergi bersama Kongcu.”
Kejut dan girang Toan Ki, sahutnya, “Bila Ciong-hujin sudi pergi bersamaku, itulah paling
baik.”
Tiba-tiba ia teringat pada apa yang dikatakan Ciong Ling bahwa satu-satunya orang yang
sanggup menyembuhkan racun Kim-leng-cu hanya ayahnya saja, maka cepat ia tanya pula
nyonya rumah apakah juga bisa mengobati racun Kim-leng-cu?
Ciong-hujin geleng-geleng kepala, sahutnya, “Aku tak bisa mengobati.”
“Jika ... jika begitu ....” namun belum selesai Toan Ki berkata, nyonya rumah itu sudah tinggal
masuk ke kamarnya.
Setelah tinggalkan secarik surat singkat dan berbenah seperlunya, segera Ciong-hujin keluar
lagi dan berkata, “Marilah kita berangkat!”
Segera ia mendahului jalan di depan.
Tersipu-sipu Toan Ki mengikut di belakang nyonya rumah itu, namun dia masih sempat
menjemput pula Jing-leng-cu dan diubet di pinggang.
Jangan sangka Ciong-hujin tampaknya lemah gemulai, jalannya ternyata jauh lebih cepat
daripada Toan Ki.
Karena tahu nyonya rumah itu tak bisa mengobati racun Kim-leng-cu, betapa pun Toan Ki
masih merasa khawatir. Maka ia coba tanya lagi, “Jika Hujin tak bisa menyembuhkan racun
ular, mungkin Sin-long-pang tak mau membebaskan putrimu itu.”
“Siapa yang ingin minta mereka bebaskan Ling-ji?” sahut Ciong-hujin tak acuh. “Kalau Sinlong-
pang berani menahan putriku untuk memeras aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup.
Kalau tak bisa menolong orang, masakan membunuh tak mampu?”
Toan Ki bergidik, ia merasa kata-kata Ciong-hujin yang sederhana itu, maksudnya membunuh
orang yang terkandung di dalamnya tidak di bawah perbuatan Ciong Ban-siu yang bengis dan
kejam itu. Namun lahirnya Ciong-hujin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya lebih
menakutkan orang.
Sambil bicara, kedua orang sudah berlari beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar suara
teriakan orang di belakang, “Hujin, engkau ... engkau hendak ke mana?”
Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Ciong Ban-siu yang sedang mengejar
datang secepat terbang.
Sekonyong-konyong Ciong-hujin ulur tangan ke ketiak Toan Ki sambil membentak, “Lekas!”
Segera ia angkat tubuh pemuda itu dan dibawa melesat ke depan.
Seketika Toan Ki merasa kedua kaki terapung di atas tanah, ia dikempit oleh Ciong-hujin dan
tak bisa berkutik. Maka kejar-mengejar itu segera berlangsung dengan cepat, dalam sekejap
saja mereka sudah berlari sepuluh tombak jauhnya.
Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Ciong-hujin ternyata lebih tinggi setingkat daripada
sang suami, cuma betapa pun ia membawa beban seorang, yaitu Toan Ki, maka lambat laun
dapatlah disusul oleh Ciong Ban-siu.
Diam-diam Toan Ki ikut khawatir, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Ciong Ban-siu
sudah bersumpah itu tentu takkan mengudak lebih jauh.
Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknya, “Meski ilmu silat adalah
kepandaian yang suka bikin celaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanya ada
faedahnya juga.”
Nyata, dalam keadaan kepepet begini, ia jadi ingin bisa berlari lebih cepat.
Sementara itu tinggal belasan tombak lagi sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa
suara napas Ciong Ban-siu sudah terdengar di belakangnya. Mendadak, “bret”, Toan Ki
merasa punggungnya silir dingin, bajunya kena dijambret sobek sebagian oleh Ciong Ban-siu.
Tiba-tiba Ciong-hujin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnya ke depan sambil
membentak, “Lekas lari!”
Menyusul tangan yang lain sudah lantas lolos pedang terus menusuk ke belakang dengan
maksud merintangi kejaran sang suami.
Hakikatnya Ciong-hujin tiada maksud mencelakai suami sendiri. Tak terduga tusukannya itu
benar-benar mengenai dada sang suami. Ternyata sama sekali Ciong Ban-siu tidak
menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang istri.
Keruan Ciong-hujin terkejut, cepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik pedangnya, ia
lihat wajah sang suami penuh rasa sesal dan cemas, kelopak matanya mengembeng air,
dadanya berlumuran darah, katanya, “Wan-jing, jadi akhir ... akhirnya akan kau tinggalkan
daku?”
Melihat tusukannya itu tepat mengenai dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi
ujung pedang juga ambles beberapa senti ke dalam, karena khawatir akan jiwa sang suami,
cepat Ciong-hujin mencabut pedang terus menubruk maju untuk menutupi luka tusukan itu, ia
lihat darah menyembur keluar melalui celah-celah jarinya.
“Kenapa engkau tidak menghindar?” tegur Ciong-hujin dengan gusar.
“Jika engkau toh akan tinggalkan diriku, lebih baik aku mati saja,” sahut Ciong Ban-siu
tersenyum getir.
“Siapa bilang aku hendak meninggalkan kau?” kata Ciong-hujin. “Aku hanya pergi buat
beberapa hari saja dan segera kembali. Kepergianku adalah untuk menolong putri kita.”
Segera ia ceritakan secara singkat tentang tertawannya Ciong Ling oleh orang-orang Sin-longpang.
Menyaksikan itu, Toan Ki terkesima, ia tidak jadi melarikan diri, tapi setelah menenangkan
diri, cepat ia sobek lengan baju sendiri dan hendak membalut luka Ciong Ban-siu.
Tak terduga mendadak sebelah kaki Ciong Ban-siu terangkat hingga Toan Ki kena ditendang
terjungkal, bentaknya, “Anak haram, aku tidak sudi melihat cecongormu!”
Lalu ia berpaling kepada sang istri dan berkata, “Aku ... aku tidak percaya, tentu kau berdusta,
sudah terang dia ... dia datang ke sini mengundangmu. Anak jadah ini sekalipun menjadi abu
juga aku mengenalnya, malah dia ... dia tadi telah menghinaku.”
Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat.
Dan karena batuk, darah yang mengucur dari lukanya itu bertambah hebat. Mendadak ia
teringat sesuatu, katanya kepada Toan Ki, “Ayolah maju, kenapa tidak maju? Meskipun aku
terluka parah, belum tentu kujeri pada kau punya It-yang-ci! Ayolah maju!”
Karena tendangan tadi, jidat Toan Ki membentur sepotong batu kecil yang tajam hingga
terluka, cepat ia merangkak bangun sambil memegangi jidatnya yang benjut itu, lalu
menjawab, “Cayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnya tidak paham tentang It-yangci
segala!”
Kembali Ciong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknya dengan gusar, “Anak jadah, apa kau
berlagak dungu? Pergilah me ... memanggil bapakmu kemari!”
Karena gusarnya itu, batuknya makin menjadi-jadi.
“Dalam keadaan demikian, penyakitmu suka curiga tetap tidak berubah,” kata Ciong-hujin.
“Kalau engkau tidak percaya padaku, lebih baik aku mati di hadapanmu saja.”
Terus saja ia jemput pedangnya dan hendak menggorok leher sendiri.
Cepat Ciong Ban-siu rebut pedang itu, air mukanya berubah girang, katanya, “Niocu, jadi
sungguh engkau bukan hendak ikut minggat dengan anak jadah ini?”
“Orang adalah Toan-kongcu yang terhormat, kenapa kau maki dia anak jadah segala?” omel
Ciong-hujin. “Kepergianku ikut Toan-kongcu adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang
untuk menolong putri mestika kita.”
Walaupun terluka parah, namun demi tampak sikap sang istri yang mengomel dan marah
kecil, rasa cinta kasih Ciong Ban-siu semakin berkobar, dengan tersenyum ia menyahut, “Jika
demikian halnya, ya, akulah yang salah.”
Ketika Ciong-hujin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan
deras. “Ba ... bagaimana baiknya, ini?” ratapnya khawatir.
Girang Ciong Ban-siu tidak kepalang, ia rangkul pinggang sang istri dan berkata, “Wan-jing,
engkau begini memerhatikan diriku, biarpun aku mati seketika juga rela.”
Muka Ciong-hujin menjadi merah, perlahan ia buang tangan sang suami dan menyahut,
“Toan-kongcu berada di sini, kenapa main pegang-pegang begini?”
Dan karena melihat keadaan sang suami tampak bertambah payah dan wajah pucat, ia
menjadi khawatir, katanya pula, “Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-ji, dia berbuat onar
sendiri, biar dia terima nasib saja.”
Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata kepada Toan Ki, “Toan-kongcu, harap kau
sampaikan pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah ... sudah mati. Jika dia berani
mengganggu seujung rambut putriku itu, suruh jangan lupa pada keganasan ‘Hiang-yok-jeh
Bok Wan-jing’!”
Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Ciong Ban-siu jelas takkan ikut pergi, Ciong-hujin
juga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong putrinya, hanya mengandalkan
kata-kata “Hiang-yok-jeh (si kuntilanak) Bok Wan-jing” apakah dapat menggertak Sikong
Hian, sungguh masih disangsikan. Tampaknya racun “Toan-jiong-san” yang masih mengeram
di dalam perutku sendiri ini pasti tak dapat diobati lagi.
Untuk sejenak ia tertegun, ia pikir urusan sudah demikian, banyak omong juga percuma,
maka sahutnya kemudian, “Jika begitu, baiklah Wansing segera berangkat menyampaikan
pesan Hujin itu.”
Melihat ketegasan anak muda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikit pun tidak
ragu-ragu, hal ini membuat Ciong-hujin teringat pada seseorang. Segera serunya, “Nanti dulu,
Toan-kongcu, masih ada yang hendak kukatakan!”
Perlahan ia taruh sang suami ke tanah, lalu memburu ke dekat Toan Ki, ia mengeluarkan
sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, bisiknya, “Bawalah benda ini kepada Toan
Cing-bing, lekas ....”
Mendengar nama “Toan Cing-bing”, air muka Toan Ki berubah.
Dasar nyonya Ciong atau Bok Wan-jing memang cermat, ketika mengucapkan “Toan Cingbing”
tadi, dia memang ingin tahu perubahan wajah Toan Ki. Karena itulah perlahan ia
menghela napas, katanya pula, “Apakah sekarang engkau hendak membohongi aku? Lekaslah
kau pergi dan semoga bisa tiba di sana tepat pada waktunya, agar jiwa Ling-ji dan kau sendiri
tertolong.”
Tanpa menunggu jawaban Toan Ki, segera ia putar balik ke samping sang suami dan
membawanya pergi.
Waktu Toan Ki periksa barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, ia lihat benda itu adalah
sebuah kotak kecil bersepuh emas yang sangat indah.
Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinya hanya secarik kertas melulu yang warnanya
sudah menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan di atas kertas lamat-lamat
masih kelihatan ada bekas tetesan darah.
Di atas kertas tertulis, “Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu Niu.”
Gaya tulisannya bagus dan halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang
lain lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin, “Ini adalah surat lahir (Pek-ji) seseorang, Ciong-hujin
menyuruhku menyerahkannya pada ayah, entah apakah maksud tujuannya. Masakah secarik
surat lahir begini bisa menolong jiwa nona Ciong dan nyawaku? Tampaknya Ciong-hujin
sudah dapat menerka bahwa aku adalah putranya ayah, sebaliknya Ciong Ban-siu berulangulang
memaki aku, agaknya ia pun kenal wajahku mirip ayah. Apakah barangkali dia ada
permusuhan dengan ayah?”
Sedang Toan Ki melamun sambil berjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan
seorang tua, “Tunggu dulu Toan-kongcu!”
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbaju pendek kasar lagi menyusulnya dengan
cepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata, “Hamba bersama Ciong
Hok. Atas perintah Hujin agar membawa Kongcu keluar lembah ini.”
“Baik,” sahut Toan Ki mengangguk.
Segera Ciong Hok berjalan di depan, akhirnya mereka tiba di mulut lembah, yaitu melalui peti
mati dan kuburan yang pernah dimasuki Toan Ki itu. Lalu Ciong Hok membawa Toan Ki
melalui suatu jalan kecil lain hingga 6-7 li pula jauhnya, akhirnya sampailah di depan sebuah
gedung besar.
“Harap Kongcu tunggu sebentar,” kata Ciong Hok. Tanpa mengetuk pintu lagi, terus saja
hamba itu melompat ke dalam gedung dengan melintasi pagar tembok.
Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar bintang yang berkelip-kelip di tengah
cakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi cantik yang dijumpainya di dasar
danau itu.
Tengah pikiran Toan Ki melayang-layang jauh, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di
halaman gedung, mendengar suara binatang yang nyaring panjang itu, tak tertahan Toan Ki
berseru memuji, “Kuda bagus!”
Kemudian tampak pintu gedung terbuka dan menongol sebuah kepala kuda, di tengah malam
gelap, kedua mata binatang itu tampak bersinar, hanya sekali pandang saja sudah kelihatan
kuda itu memang lain dari yang lain.
“Prak-prak” dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar. Perlahan sekali
suara yang dijangkitkan derap kaki binatang itu, agaknya seekor kuda kecil. Tapi bila melihat
perawakan kuda itu, ternyata keempat kakinya panjang, tangkas gagah. Yang menuntun kuda
adalah seorang pelayan kecil, dalam kegelapan tidak jelas mukanya, usianya kira-kira belasan
tahun dan tentunya wajahnya juga tidak jelek.
Ciong Hok ikut keluar di belakang kuda itu, katanya, “Toan-kongcu, Hujin khawatir engkau
tak bisa tepat waktunya tiba di Tayli, maka sengaja pinjam kuda bagus ini pada tuan rumah di
sini untuk tunggangan Kongcu.”
Sudah banyak juga kuda bagus yang pernah dilihat Toan Ki, dari suara ringkikan kuda ini
tadi, ia tahu pasti seekor kuda bagus pilihan yang jarang terdapat.
Maka sahutnya, “Terima kasih!”
Segera ia hendak menarik tali kendali.
Perlahan kacung tadi mengelus leher kuda itu, katanya dengan suara halus, “Oh-bi-kui, Oh-bikui!
Siocia meminjamkanmu kepada Kongcuya ini, kau harus menurut perintahnya. Lekas
pergi dan cepat kembali!”
Kuda hitam yang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosokgosokkan
lehernya ke lengan si pelayan, sikapnya sangat manja. Lalu pelayan itu
menyerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan berpesan, “Kuda ini jangan dipecut, semakin
baik kau perlakukan dia, semakin cepat larinya.”
“Baiklah,” sahut Toan Ki. “Nah, Siocia mawar hitam, terimalah hormatku ini!”
Sembari berkata, ia benar-benar membungkukkan tubuh kepada binatang itu.
Pelayan kecil itu mengikik geli, katanya, “Lucu juga engkau ini. Eh, hati-hati, ya! Jangan
terperosot jatuh!”
Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sejak kecil ia sudah biasa. Maka
dengan enteng saja ia mencemplak ke atas kuda hitam itu dan berkata pada si pelayan,
“Sampaikan terima kasihku kepada Siociamu!”
“Dan tidak terima kasih padaku?” ujar si pelayan tertawa.
Toan Ki memberi hormat, katanya, “Terima kasih pada Cici, Nanti kalau datang lagi akan
kubawakan banyak permen untukmu.”
“Sudahlah, jiwamu sendiri perlu dijaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih
disangsikan, siapa ingin pada permen segala?” sahut si pelayan tertawa manis.
Ciong Hok ikut berkata juga, “Harap Kongcu menjaga diri baik-baik, dari sini lurus ke utara
akan sampai di jalan raya yang menuju ke Tayli, maafkan hamba tidak mengantar lebih jauh.”
Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu melarikan kudanya ke depan.
Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternyata tidak perlu diperintah, di tengah malam buta larinya
secepat terbang. Toan Ki hanya merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnya tiada hentinya
melesat lewat di sampingnya.
Yang paling hebat adalah anteng sekali menunggang di atas kuda itu, sangat sedikit terasa
guncangan-guncangan, pikir Toan Ki, “Demikian cepat lari kuda ini, rasanya lewat tengah
hari besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ayah belum tentu sudi ikut campur urusan tetek
bengek di dunia Kangouw ini, apakah aku terpaksa harus memohon Toapek (paman tertua)?
Ai, urusan sudah telanjur begini, terpaksa harus kuserahkan pada Toapek dan ayah.”
Tiada sejam lamanya, sudah puluhan li jauhnya, dalam malam gelap terasa angin silir sejuk,
hawa malam sangat nyaman. Selagi Toan Ki merasa senang, sekonyong-konyong ada seorang
membentak di depan, “Perempuan keparat, lekas berhenti!”
Menyusul sinar tajam berkelebat, sebatang golok lantas membacok.
Namun kuda hitam itu benar-benar teramat cepat, baru golok itu diayunkan, binatang itu
sudah melompat lewat sejauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki
bersenjata golok dan tombak lagi mengejar dari belakang dengan cepat sambil memaki kalang
kabut, “Perempuan keparat! Pakai menyamar segala, apa dikira Locu (bapak) dapat kau
kelabui demikian saja?”
Tapi hanya sekejap saja si mawar hitam sudah jauh meninggalkan kedua pengejar itu. Namun
kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang
lama suara teriakan dan makian mereka pun tidak terdengar lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin, “Kedua orang memaki aku sebagai ‘perempuan keparat’
segala dan menuduh aku menyamar sebagai lelaki. Ya, tentu mereka hendak cari setori pada
majikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tapi tak kenal orangnya, sungguh tolol benar!”
Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat, “Wah, celaka! Berkat kecepatan kuda ini
aku bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknya ilmu silat kedua orang itu pun tidak
lemah, jikalau Siocia yang memberi pinjam kuda ini tidak tahu kejadianku ini dan jalan-jalan
keluar, mungkin dia akan disergap musuh. Rasanya aku harus kembali ke sana dulu untuk
memberi tahu padanya.”
Segera ia berhentikan kuda, katanya pada binatang itu, “Oh-bi-kui, ada orang hendak
membunuh Siociamu, kita harus lekas kembali dan memberi tahu padanya agar dia berjagajaga
dan jangan keluar rumah.”
Segera ia putar kuda dan lari kembali ke arah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua lakilaki
itu, ia desak si mawar hitam, “Lekas, lekas lari!”
Binatang itu ternyata mengerti maksud orang, di bawah desakan “lekas lari” itu, ia benarbenar
mencongklang terlebih pesat.
Namun kedua laki-laki itu ternyata sudah tidak di situ lagi, karena itu Toan Ki menjadi lebih
khawatir malah, pikirnya, “Jika mereka berdua sudah menyerbu masuk ke rumah Siocia itu,
hal ini pasti lebih celaka lagi!”
Segera ia membentak si mawar hitam agar lari lebih cepat.
Seketika lari si mawar hitam seolah terapung di atas tanah, secepat terbang ia lari pulang.
Ketika hampir sampai di depan gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung
menyerang kaki kuda. Namun tidak perlu Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam
melompat menghindarkan diri, menyusul kaki belakang terus mendepak, “bluk”, salah
seorang penyerang gelap itu kena didepak mencelat.
Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai di depan pintu gedung itu. Dalam
kegelapan mendadak tampak 4-5 orang muncul dan serentak hendak menarik tali kendali Ohbi-
kui menyusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena dicengkeram orang terus diseret ke
tanah. Segera seorang di antaranya membentak, “Siaucu (anak muda), untuk apa kau datang
ke sini?”
Diam-diam Toan Ki mengeluh, “Celaka, rumah ini ternyata sudah dikepung musuh, entah
tuan rumahnya sudah mengalami nasib malang atau belum?”
Ia merasa lengan kanan yang dicengkeram orang itu seakan-akan terjepit tanggam, separuh
tubuhnya merasa kaku, maka cepat katanya, “Ada urusan hendak kucari tuan rumah di sini,
kenapa kau begini kasar?”
Lalu terdengar suara seorang tua lain berkata, “Siaucu ini menunggang kuda hitam milik
perempuan hina itu, boleh jadi adalah kawan karibnya, biar kita lepaskan dia ke dalam, babat
rumput harus sampai ke akar-akarnya, nanti kita bereskan sekalian.”
Hati Toan Ki berdebar tak keruan, pikirnya, “Aku ini benar-benar ular mencari gebuk, seperti
ikan masuk jala sendiri. Sudah enak-enak pergi, sekarang datang kembali cari penyakit.
Urusan sudah kadung begini, hendak lari juga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk ke sana dan
melihat gelagat menurut keadaan nanti.”
Ia merasa cengkeram orang telah dikendurkan, segera ia betulkan bajunya, lalu melangkah
masuk ke dalam rumah dengan membusung dada.
Di pekarangan ada suatu jalan batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar yang
menyiarkan bau harum.
Jalan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah pintu bundar, jalanan itu lurus ke depan.
Toan Ki melihat di sekitarnya di sana-sini banyak berdiri orang. Ketika mendengar ada suara
dehem di tempat ketinggian, ia mendongak dan melihat di atas pagar tembok sana juga berdiri
7-8 orang dengan senjata terhunus. Di tengah malam gelap, sinar senjata yang gemilapan itu
cukup membuat jeri siapa saja yang melihatnya.
Diam-diam Toan Ki membatin, “Gedung ini meski sekian besarnya, tapi belum tentu dapat
dihuni orang sekian banyaknya. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar
mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan?”
Dalam kegelapan remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melotot padanya dan
pegang-pegang senjata utj menakuti. Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, akhirnya ia sampai di
suatu ruangan besar yang berjendela panjang, di dalam ruangan tampak sinar lampu terang
benderang.
Toan Ki mendekati deretan jendela panjang itu, lalu berseru lantang, “Cayhe Toan Ki, ada
urusan mohon bertemu dengan tuan rumah!”
“Siapa? Gusur masuk!” suara seorang tua serak membentaknya.
Toan Ki mendongkol, ia dorong daun jendela panjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia
menjadi kaget melihat di dalam ruangan penuh dengan orang pula, ada yang berdiri, ada yang
duduk, sedikitnya 17-18 orang.
Di tengah seorang wanita baju hitam duduk mungkur, muka menghadap ke dalam, maka
wajahnya tidak kelihatan. Tapi dari perawakannya yang tampak langsing, rambutnya hitam
gilap dan berkundai ciodah, dari dandanannya jelas seorang gadis remaja.
Kecuali itu, di sana-sini ada lagi belasan orang lelaki dan perempuan, ada pula dua Hwesio
dan tiga Tosu.
Di antara orang-orang itu kecuali seorang kakek yang duduk di kursi malas di sudut timur
sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, yang bertangan kosong, selebihnya sama
bersenjata.
Di depan nenek itu menggeletak seorang, lehernya luka terbacok, agaknya sudah mati.
Segera Toan Ki dapat mengenalinya sebagai Ciong Hok, itu hamba tua yang membawanya ke
sini untuk pinjam kuda itu.
Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat
padanya. Ia menjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua yang malang itu, terutama bila
teringat dirinya yang menyebabkan kematiannya itu.
“Untuk apa kau datang ke sini?” dengan suara serak si kakek membentak pula. Meski antero
rambut kakek ini sudah beruban, tapi janggutnya ternyata halus kelimis.
Sejak melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan, “Sekali sudah masuk sarang
harimau, kalau bisa meloloskan diri, itulah baik. Kalau tidak bisa, tiada gunanya juga banyak
bicara dengan manusia yang tampak bengis dan jahat ini.”
Tapi sesudah melihat mayat Ciong Hok menggeletak di situ, seketika malah menimbulkan
jiwa kesatrianya yang bersemangat banteng, dengan garang ia menjawab, “Aku bernama Toan
Ki. Rasanya Lotiang (bapak tua) adalah seorang terhormat, engkau hanya lebih lama hidup
beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siaucu segala secara tak sopan?”
BAB 4 .....
Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanya menyorot tajam, sikapnya keren, tapi tak
menjawab. Sebaliknya seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya lantas membentak,
"Bangsat kecil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengoceh! Loyacu ini sudi
bicara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyacu ini? Hm,
matamu benar-benar buta!"
Melihat lagak kakek itu benar-benar lain dari yang lain, betapa pun timbul juga sedikit rasa
hormat Toan Ki, maka sahutnya, "Aku pun tahu Lotiang ini pasti bukan orang sembarangan.
Bolehkah mohon tanya siapakah nama Lotiang yang terhormat?"
Belum lagi si kakek menjawab, lelaki tadi sudah berkata pula, "Baiklah, supaya kau bisa mati
dengan merem, dengarlah yang jelas. Loyacu ini adalah No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng
Cin-loyacu!"
"Sam-ciang-coat-beng?" Toan Ki menegas, "Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran
yang tak enak didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Cin-loyacu."
Kiranya No-kang-ong, si raja sungai mengamuk, Sam-ciang-coat-beng atau tiga kali pukulan
melenyapkan nyawa, nama lengkapnya adalah Cin Goan-cun. Tidak saja namanya
mengguncangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan di
wilayah Hunlam, bahkan di sekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangcu, setiap jago
silat juga segan pada namanya.
Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele saja, sedikit pun
tidak heran.
Tentu saja No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun sangat gusar. Sejak namanya
terkenal, jarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan yang berilmu silat lebih tinggi kalau
mendengar namanya juga akan tergetar, sedikit pun tidak berani memandang enteng.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnya Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw,
mengenai seluk-beluk kejadian dunia persilatan, sedikit pun tak diketahuinya, Jangankan
nama Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, sekalipun gelar "Sam-sian-su-ok", yaitu tokohtokoh
"tiga orang bajik dan empat manusia jahat" yang diagungkan dunia persilatan, juga
takkan membuatnya jeri.
Umumnya jago silat mana pun juga, dalam hal "nama" dipandangnya sangat penting. Maka
Cin Goan-cun menyangka perbuatan Toan Ki ini sengaja hendak menghina dirinya, meski
dalam hati sangat gusar, namun melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh, kalau bukan
memiliki ilmu silat yang diandalkan, rasanya pasti tidak berani begitu kurang ajar.
Karena menyangka Toan Ki pasti seorang jago sangat lihai, maka Cin Goan-cun cepat
mencegah dua orangnya yang hendak maju melabrak pemuda itu, lalu tanyanya, "Saudara dari
golongan dan aliran mana? Siapa gurumu?"
"Untuk belajar, kenapa rewel tentang golongan segala?" sahut Toan Ki. "Cayhe tidak masuk
golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus meyakinkan 'Kong-yang-ci-hak', namanya
kalau kukatakan juga kau tidak kenal."
Meski ilmu silat Cin Goan-cun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang "Kong-yangci-
hak" segala, selama hidupnya tak pernah mendengar, maka ia menyangka apa yang
dikatakan Toan Ki itu tentunya semacam ilmu sakti yang belum pernah dilihatnya. Diamdiam
ia merasa syukur dirinya tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah hati-hati lagi
menghadapi pemuda itu, tanyanya pula, "Lalu kedatangan saudara ini ada urusan apa?"
Melihat Cin Goan-cun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang yang hadir di situ
menyangka juga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.
Maka terdengar Toan Ki menjawab, "Kedatangan Cayhe ke sini adalah ingin menyampaikan
sesuatu kabar pada tuan rumah."
"Kabar apa?" tanya Cin Goan-cun.
Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnya, "Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau
tidak kabar itu, sama saja."
"Menyampaikan kabar apa? Lekas katakan!" desak Cin Goan-cun lagi. Nadanya makin
bengis.
"Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinya akan kukatakan, apa
gunanya bicara padamu?" sahut Toan Ki.
Cin Goan-cun tertawa dingin, selang sejenak, ia berkata pula, "Kau ingin bicara berhadapan
dengan tuan rumah? Kukira tak perlu kau katakan, biar sebentar lagi kalian boleh bertemu
saja di akhirat."
"Yang manakah tuan rumah?" tanya Toan Ki. "Ingin kusampaikan terima kasih telah diberi
pinjam kuda."
Karena ucapan ini, sorot mata semua orang sama beralih kepada si nona berbaju hitam yang
duduk mungkur tadi.
Toan Ki terkesiap, pikirnya, "Apakah nona ini pemilik rumah? Seorang gadis lemah seperti
dia telah dikepung musuh sebanyak ini, tampaknya jiwanya sukar diselamatkan."
Dalam pada itu terdengarlah wanita baju hitam sedang berkata, "Kuberi pinjam kuda adalah
karena permintaan orang lain, perlu apa terima kasih segala? Tidak lekas kau pergi menolong
orang, buat apa kembali lagi ke sini?"
Sembari bicara mukanya tetap menghadap ke dalam tanpa menoleh.
Maka Toan Ki menjawab, "Cayhe menunggang si mawar hitam, sampai di tengah jalan telah
disergap musuh yang salah sangka Cayhe sebagai nona serta dicaci maki. Cayhe rasa kurang
enak, maka sengaja balik ke sini untuk memberi kabar pada nona."
"Kabar apa?" tanya perempuan itu, nadanya nyaring merdu, tapi sedikit pun tidak membawa
rasa simpatik, hingga bagi yang mendengarkan rasanya tidak enak, seakan-akan wanita ini
sudah terasing dari dunia ramai dan sama sekali tidak peduli terhadap segala apa di dunia ini,
seperti setiap orang adalah musuh besarnya, kalau bisa setiap orang akan dibunuhnya.
Tentu saja Toan Ki rada mendongkol oleh jawaban orang. Tapi lantas teringat olehnya bahwa
nona itu sudah jatuh di tangan kepungan musuh, keadaannya sangat berbahaya, kalau
sikapnya menjadi kasar juga tak boleh salahkan dia. Karena itu, timbul juga rasa solider Toan
Ki.
Maka dengan ramah ia menjawab, "Cayhe pikir kedua orang jahat itu akan bikin susah nona,
hal itu tentu belum diketahui nona, maka sengaja kukembali ke sini untuk memberi kabar agar
sebelumnya nona menyingkir. Tak terduga tetap terlambat juga, musuh sudah tiba lebih dulu,
sungguh aku menyesal."
"Begini baik sengaja kau bela aku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?" tanya wanita itu
dingin.
Toan Ki menjadi gemas, sahutnya keras, "Selamanya tidak kukenal nona, cuma kutahu ada
orang hendak bikin susah padamu, masa aku boleh berpeluk tangan dan diam saja?"
"Apakah kau tahu siapa aku?" tanya wanita itu.
"Tidak" sahut Toan Ki.
"Kudengar cerita Ciong Hok, katanya sama sekali engkau tidak mahir ilmu silat, tapi berani
kau damprat terang-terangan di hadapan Ciong-kokcu. nyalimu sungguh tidak kecil, tapi kau
sudah terlibat dalam kejadian ini, apa kehendakmu sekarang?"
"Sebenarnya sehabis menyampaikan berita ini, segera akan pulang ke rumah secepatnya,"
sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi tampaknya nona bakal celaka dan
aku pun tak terhindar dari malapetaka. Cuma entah cara bagaimana nona bermusuhan dengan
orang-orang ini?"
"Berdasarkan apa kau berani tanya padaku?" nona itu menjengek.
Kembali Toan Ki tercengang, tapi segera katanya, "Urusan pribadi orang memang aku tidak
pantas tanya. Baiklah, aku sudah menyampaikan kabar padamu, selesailah kewajibanku."
"Tentunya kau tidak menduga jiwamu bakal melayang di sini, bukan? Apa engkau
menyesal?" tanya si wanita.
Mendengar kata orang bernada menyindir, kontan Toan Ki menjawab, "Perbuatan seorang
Taytianghu (laki-laki sejati), asal demi kebaikan sesamanya, kenapa mesti menyesal?"
"Hm, hanya macam kau juga berani mengaku sebagai laki-laki sejati?" jengek wanita baju
hitam itu.
"Kesatria atau bukan, masakah ditentukan dalam hal tinggi rendahnya ilmu silat?" sahut Toan
Ki dongkol. "Sekalipun ilmu silatnya tiada tandingan di kolong langit, kalau kelakuannya
rendah memalukan juga tak bisa disebut sebagai 'Taytianghu'!"
"Cin-losiangsing," tiba-tiba wanita baju hitam itu berpaling pada Cin Goan-cun, "kau dengar
tidak ucapan Toan-ya ini? Kelakuan kalian ini rasanya tak dapat dikatakan terang-terangan,
bukan?"
"Perempuan hina," mendadak nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun itu memaki, "apa
kau sengaja mengulur waktu? Bangkitlah untuk bertempur ...."
"Usiamu sudah lanjut begini, ingin mampus juga tidak perlu terburu-buru," sahut si baju
hitam dengan tajam. "Jing-siong Tojin, kau pun datang mencari perkara padaku, apa orang
Ban-jiat-kok mengetahuinya?"
Air muka Tosu berjenggot itu rada berubah, sahutnya, "Tujuanku adalah membalas dendam
murid, apa sangkut pautnya dengan Ban-jiat-kok?"
"Ingin kutanya, sebelumnya kau minta bantuan Hiang-yok-jeh atau tidak?" tanya si wanita.
Tosu itu menjadi gusar, sahutnya, "Sekian banyak tokoh terkemuka berkumpul di sini,
masakah masih tidak bisa memberesi dirimu?"
"Jawabanmu tidak jelas, tentu pernah kau minta bantuan Hiang-yok-jeh," kata wanita baju
hitam. "Dan kau ternyata bisa keluar lagi dari Ban-jiat-kok dengan selamat, boleh dikata
rezekimu tidak kecil."
"Aku tidak masuk ke Ban-jiat-kok, siapa bilang aku pergi ke sana?" sahut Jing-siong Tojin.
"Ehm, jika begitu, tentunya telah kau kirim seorang lain ke sana sebagai pengantar jiwa," kata
wanita itu mengangguk-angguk.
Sekilas wajah Jing-siong Tojin merasa malu, segera ia berteriak, "Marilah kita putuskan
dengan senjata, kenapa banyak mulut?"
Menyaksikan percakapan wanita baju hitam dengan orang-orang itu, Toan Ki dapat melihat
rombongan Cin Goan-cun itu masih belum pasti di atas angin, kalah atau menang baru bisa
diketahui sesudah bertanding. Tapi dari nada Jing-siong Tojin tadi, terang Tosu itu sangat jeri
pada si wanita baju hitam. Diam-diam Toan Ki sangat heran, orang-orang itu berulang kali
menantang, tapi tetap tiada seorang pun yang berani mulai bergebrak.
Tiba-tiba terdengar si wanita baju hitam berkata kepada Toan Ki, "Hai orang she Toan, sekian
banyak orang-orang ini hendak mengeroyok diriku, menurut kau, bagaimana baiknya."
"Si mawar hitam berada di luar," ujar Toan Ki. "Kalau engkau bisa terjang keluar dari
kepungan, lekas menunggangnya melarikan diri. Teramat cepat lari binatang itu, pasti mereka
tak mampu menyusulmu."
"Lalu bagaimana dengan kau sendiri?" tanya nona itu.
"Selamanya aku tidak kenal mereka, tiada dendam tak ada sakit hati, boleh jadi mereka takkan
bikin susah padaku" ujar Toan Ki.
Wanita baju hitam itu tertawa dingin, katanya, "Hm, jika mereka mau pakai aturan, tentunya
aku takkan dikeroyok orang sebanyak ini. Jiwamu sudah pasti akan melayang. Bila aku bisa
lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu?"
Toan Ki menjadi sedih, sahutnya, "Ada seorang nona Ciong telah ditawan oleh Sin-long-pang
di Bu-liang-san, ibunya memberikan kotak emas ini kepadaku dan minta disampaikan kepada
ayahku agar berusaha menolong nona Ciong itu, Ji ... jika nona dapat lolos, harapanku adalah
sudi melaksanakan tugasku ini, untuk mana aku merasa sangat terima kasih."
Sembari berkata, ia melangkah maju dan mengangsurkan kotak emas itu.
Kini jaraknya di belakang wanita baju hitam itu hanya setengah meter saja, tiba-tiba
hidungnya mengendus semacam bau wangi yang mirip bunga anggrek, tapi bukan anggrek,
seperti mawar, tapi bukan mawar. Meski bau harum itu tidak keras, namun membuat orang
merasa pusing, tubuh Toan Ki menjadi sempoyongan sedikit.
Wanita itu ternyata tidak menerima kotak itu, tapi bertanya, "Kabarnya nona Ciong itu sangat
cantik, apakah ia kekasihmu?"
"Bukan, bukan!" sahut Toan Ki cepat. "Nona Ciong masih terlalu muda, lincah dan kekanakkanakan,
mana ... mana bisa timbul maksudku yang tidak senonoh itu?"
Baru sekarang wanita itu ulurkan tangan ke belakang untuk mengambil kotak emas yang
diangsurkan Toan Ki. Pemuda itu melihat tangan orang memakai sarung tangan sutera hitam
hingga sama sekali tidak kelihatan kulit badannya.
Perlahan wanita itu masukkan kotak emas itu ke dalam bajunya, lalu berkata, "Nah, Jingsiong
Tojin, lekas enyah dari sini!"
"Apa ... apa katamu?" Tosu itu menegas dengan tergegap.
"Enyah keluar, hari ini aku tidak ingin membunuhmu," kata si wanita.
Mendadak Jing-siong Tojin angkat pedangnya dan membentak, "Kau mengoceh apa segala?"
Tapi suaranya gemetar, entah saking gusar atau karena ketakutan?
"Kau tahu tidak bahwa mengingat Sumoaymu, maka aku mengampuni jiwamu," kata si
wanita baju hitam lagi. "Nah, lekas enyah!"
Wajah Jing-siong Tojin sepucat mayat, perlahan pedangnya menurun ke bawah.
Melihat wanita baju hitam itu berlaku kasar dan membentak Jing-siong Tojin enyah dari situ,
Toan Ki menyangka Tosu itu pasti akan murka, siapa tahu wajah Tosu itu tampak ragu
sebentar, lalu tampak jeri pula, sekonyong-konyong pedang jatuh ke lantai, ia tutup mukanya
dengan kedua tangan terus lari keluar.
Tapi sial baginya, baru tangan hendak mendorong pintu, si nenek yang duduk di samping Cin
Goan-cun telah ayun tangannya, sebilah Hui-to atau pisau terbang melayang cepat dan tepat
mengenai punggung Jing-siong Tojin. Tanpa ampun lagi Tosu itu terjungkal, setelah
merangkak beberapa kali, akhirnya terkapar binasa.
Toan Ki menjadi gusar, teriaknya, "Hai, Lothaythay (nenek tua), Tosu itu kan kawanmu,
kenapa kau serang dia sekeji itu?"
Dengan gaya loyo nenek itu berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang si wanita baju
hitam, ucapan Toan Ki itu seperti tak didengarnya.
Serentak kawan-kawannya juga siap siaga untuk mengerubut, asal sekali diberi komando,
kontan wanita baju hitam pasti akan dicacah mereka.
Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa penasaran, "Hai, kalian semua laki-laki
hendak mengerubut seorang perempuan lemah, di manakah letaknya keadilan ini?"
Segera ia pun melangkah maju hingga wanita baju hitam teraling di belakangnya, lalu
bentuknya pula, "Ayo, kalian masih berani turun tangan?"
Meski sama sekali Toan Ki tidak bisa silat, tapi sikapnya gagah perkasa dengan semangat
banteng yang tak gentar pada siapa pun.
"Jadi saudara sudah pasti ingin ikut campur urusan ini?" dengan kalem Cin Goan-cun
menegur.
"Ya," teriak Toan Ki. "Aku melarang kalian main keroyok, menganiaya seorang wanita
lemah."
"Hubungan famili apa antara saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga
kau berani ikut campur urusan ini?" tanya Cin Goan-cun lagi.
"Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, cuma segala apa di dunia ini tidak terlepas dari
'keadilan', maka kunasihati kalian supaya sudahi urusan ini, mengeroyok seorang gadis lemah,
terhitung orang gagah macam apa?" sahut Toan Ki tegas. Lalu ia berbisik pada si wanita baju
hitam, "Lekas nona lari, biar kurintangi mereka."
Wanita itu pun menjawab dengan suara lirih, "Jiwamu akan melayang demi membela diriku,
apa takkan menyesal?"
"Biar mati tidak menyesal," sahut Toan Ki.
"Kau benar-benar tidak takut mati? Tetapi ...." mendadak suara wanita itu diperkeras, "sedikit
pun kau tak bertenaga, masih kau berani berlagak kesatria?"
Sekonyong-konyong ia ayun tangannya, dua tali berwarna tahu-tahu melayang hingga kedua
tangan dan kedua kaki Toan Ki terikat dengan erat.
Berbareng pada saat itu juga, sebelah tangan lain si wanita pun mengayun bergerak, Toan Ki
hanya mendengar suara gemerencing dan gedubrakan beberapa kali, di sana-sini beberapa
orang lantas jatuh terjungkal, menyusul sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata,
pandangan menjadi gelap, segenap lilin di dalam ruangan telah dipadamkan semua oleh
orang. Segera Toan Ki merasa tubuhnya terapung seakan-akan terbang dibawa seseorang.
Semua kejadian itu datangnya terlalu cepat sehingga dalam sekejap itu Toan Ki tidak tahu
dirinya sudah berada di mana. Hanya terdengar sekeliling ruangan ramai suara bentakan
orang, "Jangan sampai lolos perempuan hina itu!"
"Jangan takut pada panah beracunnya!"
"Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to!"
Menyusul terdengar pula suara gemerencing yang ramai, banyak senjata rahasia terbentur
jatuh.
Ketika Toan Ki merasakan badannya berguncang lagi, menyusul terdengar suara derap kuda
berlari, nyata dirinya sudah berada di atas kuda, kaki tangan terikat, sedikit pun tak bisa
berkutik. Ia merasa tengkuknya bersandar di badan seseorang, hidung mengendus bau wangi,
itulah bau harum dari badan si wanita baju hitam.
Suara derapan kuda berdetak-detak, enteng dan anteng, suara bentak dan kejar musuh makin
lama makin ketinggalan jauh di belakang.
Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itu pun hitam, ditambah malam pekat dengan
bau harum semerbak, suasana menjadi agak seram.
Sekaligus Oh-bi-kui alias si mawar hitam berlari sampai beberapa li jauhnya.
Akhirnya Toan Ki berseru, "Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap lepaskan
aku."
Wanita itu mendengus sekali tanpa menjawab.
Karena kaki tangan terikat, setiap kali kuda itu mencongklang, tali pengikat bertambah
kencang, makin lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanya terjuntai ke bawah
hingga mirip orang tergantung, Toan Ki menjadi pening tak tertahan. Maka serunya lagi,
"Nona, lekas lepaskan aku!"
"Plak," mendadak ia dipersen sekali tempelengan, dengan dingin nona itu berkata, "Jangan
cerewet, tahu? Nona tidak tanya, dilarang bicara!"
"Sebab apa?" teriak Toan Ki penasaran.
"Plak, plak," kembali ia digampar dua kali terlebih keras daripada tadi.
Keruan Toan Ki merah bengap mukanya, telinga pun mendenging hampir-hampir pekak.
Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia berteriak pula, "Kenapa sedikit-sedikit kau
pukul orang? Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau."
Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, tahu-tahu sudah terbanting di tanah, tapi
anggota badannya masih terikat, bahkan ujung lain dari tali pengikat itu masih dipegang orang
hingga badan Toan Ki terseret di tanah oleh Oh-bi-kui.
Wanita itu membentak tertahan menyuruh Oh-bi-kui berjalan perlahan, lalu tanyanya pada
Toan Ki, "Kau menyerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku tidak?"
"Tidak, tidak!" gembor Toan Ki. "Tadi meski terancam mati saja aku tidak gentar, apalagi
sekarang hanya disiksa begini? Aku ...."
Sebenarnya ia ingin bilang, "Aku tidak takut," tapi kebetulan waktu itu badannya yang
terseret di tanah itu membentur jalan yang tidak rata sehingga kata-katanya itu terputus.
"Kau takut, bukan?" kata si nona baju hitam dengan dingin. Segera ia sendal talinya, Toan Ki
terangkat ke atas kuda lagi.
"Aku takut apa?" sahut Toan Ki. "Lekas lepaskan aku!"
"Hm, di hadapanku, tiada seorang pun berhak bicara," kata wanita itu. "Aku justru hendak
menyiksa kau, biar mati tidak, hidup pun tidak, apa kau kira hanya sedikit siksaan begini
saja?"
Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ke tanah dan diseret pula.
Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnya, "Semua orang tadi memaki dia sebagai perempuan
hina, nyatanya ada benarnya juga"
Segera ia berseru pula, "Lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho."
"Kalau berani, boleh coba memaki," sahut nona itu. "Selama hidupku ini memang sudah
kenyang dicaci maki orang."
Mendengar kata-kata orang yang terakhir itu diucapkan dengan nada penuh rasa sesal dan
derita, caci maki Toan Ki yang sudah hampir dilontarkan itu menjadi urung dikeluarkan,
hatinya menjadi lunak.
Menunggu sekian saat tidak terdengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula, "Hm,
masakah kau berani memaki!"
"Mengapa tidak berani?" seru Toan Ki mendongkol. "Soalnya aku menjadi kasihan padamu,
maka tidak tega memaki. Memangnya kau kira aku takut padamu?"
Wanita itu tidak menggubrisnya lagi, mendadak ia bersuit mempercepat kudanya, segera Ohbi-
kui mencongklang pesat ke depan. Keruan yang payah adalah Toan Ki, badannya tergesek
oleh batu pasir yang tajam hingga babak belur dan darah mengucur.
"Kau mau menyerah atau tidak?" seru si wanita.
Dengan suara keras Toan Ki memaki malah, "Kau perempuan galak yang tak kenal aturan!"
"Aku memang perempuan galak, tak perlu kau katakan pun kutahu sendiri." sahut wanita itu.
"Dan di mana aku tidak kenal aturan segala?"
"Aku ... aku bermaksud baik padamu ...." mendadak kepala Toan Ki membentur sepotong
batu di tepi jalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri.
Entah sudah selang berapa lama lagi, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanya dingin
segar, ia siuman, menyusul terasa air merembes masuk ke dalam mulut, cepat ia tahan
napasnya, namun tak keburu lagi, ia terbatuk-batuk sesak. Dan karena batuknya itu, air masuk
lebih banyak lagi ke dalam mulut dan hidung.
Kiranya ia diseret oleh wanita baju hitam di tanah, ketika mengetahui Toan Ki jatuh pingsan,
nona itu sengaja menyeberangi sebuah sungai kecil, karena terendam air, Toan Ki lantas
sadar. Untung sungai itu kecil dan dangkal, sekali lompat si mawar hitam sudah
menyeberanginya.
Dengan baju basah kuyup, perut kembung tercekok air sungai, ditambah badan memang
babak belur, keruan antero badan Toan Ki terasa sakit.
"Sekarang menyerah tidak?" kembali wanita baju hitam itu tanya.
"Sungguh sukar dipahami bahwa di dunia ini ada perempuan sewenang-wenang seperti ini,"
demikian pikir Toan Ki. "Aku sudah tercengkeram di tangannya, banyak bicara juga tiada
gunanya."
Karena itu, ketika beberapa kali si wanita baju hitam tanya lagi, "Kau mau menyerah tidak?
Sudah cukup tahu rasa belum?"
Toan Ki tetap tidak menggubrisnya dan anggap tidak mendengar saja.
Nona itu menjadi gusar, dampratnya, "Apa kau tuli? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"
Tetap Toan Ki tak gubris padanya.
Mendadak nona itu tahan kudanya, ingin tahu apakah Toan Ki sebenarnya sudah sadar atau
belum.
Tatkala itu sang surya sudah menongol di ufuk timur dengan cahayanya yang remang-remang,
maka nona itu dapat melihat jelas kedua mata Toan Ki lagi mendelik padanya dengan gusar.
Nona itu menjadi murka, dampratnya pula, "Bagus, jadi kau tidak pingsan, tapi sengaja main
gila padaku. Baiklah, mari coba-coba kita adu bandel, apa kau lebih tahan atau aku lebih
kejam?"
Ia terus melompat turun dari kudanya, dengan enteng ia melompat ke atas mendapatkan
sepotong ranting pohon, "plak," segera ia sabet sekali di muka Toan Ki.
Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia lihat muka orang
berkerudung selapis kain hitam tebal, hanya dua lubang matanya tertampak sepasang biji
matanya yang hitam bersinar tajam.
Toan Ki tersenyum, katanya di dalam hati, "Kau ingin kujawab pertanyaanmu, hm, mungkin
lebih sulit daripada naik ke langit."
"Dalam keadaan begini kau masih bisa tersenyum? Apa yang kau gelikan?" omel nona itu.
Tapi Toan Ki sengaja mengiming-iming dengan muka kocak, lalu tertawa lagi.
"Plak-plok, plak-plok," kembali nona itu menghujani sabetan beberapa kali. Namun Toan Ki
sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, ia tetap diam.
Cara menghajar wanita itu sangat keji, setiap kali sabetannya pasti mengenai tempat Toan Ki
yang paling sakit. Saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampir-hampir menjerit, tapi
syukur ia masih bisa mengekang diri.
Melihat pemuda itu sedemikian bandel, setelah berpikir sejenak, segera wanita itu berkata,
"Baik, kau pura-pura tuli, biar kubikin benar-benar menjadi tuli!"
Terus saja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinar gemerlap perlahan ia mendekati Toan Ki.
Ia angkat belatinya dan ancam telinga kiri pemuda itu sambil membentak, "Kau dengar katakataku
tidak? Apa kau tidak ingin daun kupingmu ini?"
Masih tetap Toan Ki tak menggubris, sinar mata nona itu menyorot beringas, selagi belati
diangkat hendak menyayat kuping Toan Ki, tiba-tiba di tempat sejauh belasan tombak sana
ada orang membentak, "Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ya?"
Suaranya lantang berwibawa.
Cepat wanita itu angkat tali pengikatnya hingga tubuh Toan Ki tergantung di atas dahan
pohon. Waktu menoleh, Toan Ki melihat orang yang bersuara itu adalah seorang laki-laki
tinggi besar bertangan kosong, pada pinggangnya terselip sebuah golok. Laki-laki itu tidak
berlari, tapi tahu-tahu sudah sampai di depan mereka, cepatnya bukan main.
Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat, berbaju pendek warna kuning, bermuka
lebar, kedua kaki dan tangan jauh lebih panjang daripada orang biasa, usianya sekitar 30-an
tahun, kedua matanya bersinar tajam.
"Tentunya kau inilah Kim Tay-peng?" tegur nona tadi. "Orang bilang Ginkangmu sangat
hebat, tapi, hm, kalau sepanjang jalan aku tidak menanyai bocah ini hingga jalanku terlambat,
rasanya kau pun tak mampu menyusulku."
"Dan kalau bukan ada urusan lain hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun takkan bisa
lolos," sahut laki-laki itu ketus.
"Dan sekarang sudah dapat kau susul aku," kata si nona. "Nah, Kim Tay-peng, kau mau apa
sekarang?"
"Si tukang obat, Ong-lohan, di kota Sengtoh itu, dibunuh olehmu bukan?" tanya laki-laki itu.
"Kalau benar, mau apa?" sahut si nona.
"Ong-lohan adalah sahabatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnya tidak pernah
berbuat jahat, sebab apa kau bunuh dia?"
"Sebabnya?" sahut nona itu. "Hm, sebab ada orang terkena panahku yang berbisa, Ong-lohan
sengaja tampil untuk mengobatinya, hal ini kau tahu tidak?"
"Menjual obat bertujuan menyembuhkan orang, itu memang kewajiban Ong-lohan" kata
orang itu alias Kim Tay-peng.
Sekonyong-konyong terdengar suara mendesir perlahan, menyusul suara "cring" sekali pula,
sebatang panah kecil menancap di samping kaki Kim Tay-peng.
Panjang panah itu hanya belasan senti, hampir seluruhnya ambles ke dalam tanah.
Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun memasukkan goloknya ke dalam sarung yang
tergantung di pinggangnya.
Kiranya dalam sekejap itu saja si nona sudah menyerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi
Kim Tay-peng sempat cabut golok untuk menangkis. Nyata, diam-diam kedua orang sudah
saling gebrak sejurus.
"Cepat juga gerakanmu, ya?" kata si nona.
"Kau pun tidak lamban," sahut Kim Tay-peng. "Nyata, nama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing
memang bukan omong kosong."
Toan Ki terperanjat mendengar nama itu, cepat ia berteriak, "He, engkau salah, Kim-heng, dia
bukan Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!"
"Dari mana kau tahu?" tanya Kim Tay-peng.
"Kukenal Bok Wan-jing dengan baik, Bok Wan-jing adalah Ciong-hujin, tapi perempuan
jahat ini adalah seorang nona lain," kata Toan Ki.
Sekilas wajah Kim Tay-peng mengunjuk heran, katanya, "Jadi Hiang-yok-jeh sudah kawin?
Entah orang she Ciong mana yang sial itu."
Tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, dua batang senjata rahasia jatuh di samping Toan
Ki, yang satu adalah panah kecil berwarna hitam, yang lain adalah sebuah mata uang. Di
tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu menancap di tengah lubang itu.
Kiranya wanita itu telah menyambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Taypeng
sempat menimpukkan mata uang itu hingga jiwa Toan Ki tertolong.
Melihat itu, barulah Toan Ki sadar barusan jiwanya telah berpiknik ke pintu gerbang akhirat,
untung bisa balik lagi. Ia dengar wanita itu bertanya dengan gusar, "Siapa bilang aku Bok
Wan-jing sudah kawin? Laki-laki di jagat ini tiada seorang pun yang baik, siapa yang setimpal
menjadi suamiku?"
"Ya, agaknya saudara ini salam paham," ujar Kim Tay-peng.
Mendadak wanita baju hitam itu mengaku sebagai "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" atau si
kuntilanak berbau harum, Toan Ki pikir di balik ini tentu ada sesuatu yang tak beres,
sekalipun nona ini ganas dan jahat, rasanya tidak nanti sudi mengaku sebagai istri orang.
Maka katanya, "Betul juga ucapan Kim-heng, yang kutahu ialah istrinya Kian-jin-ciu-sat
Ciong Ban-siu yang bernama Bok Wan-jing."
"Cis, jadi perempuan keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-jeh Bok Wanjing?"
teriak wanita baju hitam dengan gusar.
"Kim-heng," kata Toan Ki, "Ciong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa, dengan
nona baju hitam ini sungguh suatu pasangan yang setimpal."
Baru selesai ucapannya itu tiba-tiba sinar hijau berkelebat di depan mata, sesuatu senjata telah
membacok ke arahnya.
Dalam keadaan terikat dan terjungkir, dengan sendirinya Toan Ki tak dapat menghindar,
namun biar dia bisa bergerak dan bersenjata sekalipun tentu juga sukar menghindari serangan
kilat itu. Maka dengan pejamkan mata ia sudah pasrah nasib.
Mendadak terdengar suara gemerantang beberapa kali, senjata nona baju hitam itu ternyata
tidak sampai di tubuhnya. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana sesosok bayangan
hitam dan segulung kabut kuning lagi melayang kian kemari dengan cepat luar biasa, di
tengah bayangan hitam dan kabut kuning itu terlihat berkelebatnya sinar putih pula, menyusul
riuh ramai dengan suara saling beradunya senjata.
"Tuhan Maha Pengasih, semoga Kim-heng ini diberi kemenangan," diam-diam Toan Ki
berdoa.
Tiba-tiba terdengar si nona baju hitam alias Bok Wan-jing membentak nyaring, kedua orang
sama-sama melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah dimasukkan ke sarungnya,
dengan tenang berdiri di tempatnya.
Sebaliknya dengan pedang terhunus, Bok Wan-jing lagi memandang lawan dengan penuh
perhatian.
"Kalah menang belum terjadi, kenapa nona Bok tidak terus bertempur?" kata Kim Tay-peng.
"Hm, 'It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng', suatu tokoh gemilang di dunia Kangouw paling akhir
ini, huh!" sahut Bok Wan-jing.
"Ada apa maksudmu?" tanya Tay-peng.
"Dalam 500 jurus belum tentu dapat kau menangkan nonamu!" sahut Wan-jing.
"Benar!" kata Tay-peng, "Jika lebih dari 500 jurus?"
"Marilah boleh kita coba-coba," ujar Bok Wan-jing. Berbareng ujung pedangnya terus
mengarah tenggorokan Kim Tay-peng.
"Trang," Kim Tay-peng melolos golok buat menangkis dan kembalikan golok ke sarungnya
pula, lalu membentak, "Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sejati, mana bisa bertempur
sampai lebih 500 jurus dengan perempuan siluman kecil macammu? Utang darah penjual
jamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda dulu. Cuma kau harus berjanji takkan mencelakai
jiwa saudara ini."
"Lalu utang piutang kita sendiri kapan akan diselesaikan?" tanya Bok Wan-jing.
"Nanti kalau dalam 500 jurus aku sudah dapat membereskanmu, dengan sendirinya akan
kubikin perhitungan padamu," sahut Kim Tay-peng. "Jelas belum pesanku tadi?"
"Hm, bilakah pernah kau dengar Hiang-yok-jeh menerima pesan seseorang?" sahut Bok Wanjing
dengan angkuh.
"Baiklah, kuhormati kepandaianmu yang hebat, anggaplah aku yang memohonkan
keselamatan saudara ini," kata Tay-peng.
"Jadi kau sendiri yang memohon padaku?" Bok Wan-jing menegas.
"Ya, kumohon padamu," sahut Tay-peng dengan suara berat.
Maka terbahaklah senang sekali Bok Wan-jing, selama bertemu dengan dia, untuk pertama
kali inilah Toan Ki mendengar suara tertawa nona itu yang penuh gembira ria, tidak saja
senang luar biasa, bahkan membawa sifat kekanak-kanakan.
Terdengar ia berseru pula, "Haha, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng ternyata memohon
sesuatu pada aku Bok Wan-jing, maksud baik permohonan ini rasanya tidak pantas kalau
kutolak. Cuma aku hanya berjanji tidak membunuh orang ini, menghajarnya atau mengutungi
kaki tangannya tidak termasuk dalam jaminanku ini."
Habis berkata, tanpa menunggu jawaban Kim Tay-peng lagi, ia bersuit, dengan cepat si
mawar hitam mendekatinya, sekali cemplak Bok Wan-jing sudah berada di atas kuda,
berbareng ia sambitkan pedangnya hingga tali gantungan pada dahan pohon itu terpapas
putus. Toan Ki bersama pedang itu jatuh ke bawah, dan pada saat itulah dengan tepat Oh-bikui
atau si mawar hitam berlari sampai di bawah pohon, tangan kanan Bok Wan-jing
menyambar kembali pedangnya, tangan kiri mencengkeram kuduk Toan Ki dan ditaruh di
atas pelana kuda. Sekali congklang, secepat terbang Oh-bi-kui sudah berlari jauh.
Melihat pertunjukan Bok Wan-jing ketika hendak pergi itu, mau tak mau Kim Tay-peng
memuji, "Sungguh lihai perempuan siluman ini."
Setelah Bok Wan-jing simpan pedangnya, ia berkata di atas kuda, "It-hui-ciong-thian yang
namanya terkenal di seluruh jagat ini hari ini juga tak bisa mengapa-apakan diriku. Hm,
biarpun dia memperdalam pula ilmu silatnya, memangnya setiap hari aku hanya tidur saja dan
ilmu kepandaianku takkan bertambah? Wahai, bocah she Toan, sekarang kau menyerah tidak
padaku?"
Toan Ki hanya diam saja tak menggubrisnya, tetap berlagak bisu dan tuli.
Agaknya hati Bok Wan-jing sangat riang, kembali ia berkata, "Orang Kangouw sama bilang
It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng adalah jago muda yang jarang ada bandingannya, kecuali
tokoh-tokoh angkatan tua seperti 'Sam-sian-su-ok', dia terhitung jago paling lihai. Tapi hari ini
dia toh sudi memohon padaku."
(bersambung...)
love wuxia
ReplyDeleteThanks Aulia da mampir xixixix,,, :) I <3 Wuxia too
ReplyDelete